Sekolahnya Manusia
Munif Chatib
Sekolah seharusnya menjadi tempat
manusia mengembangkan diri dan pengetahuan agar tumbuh menjadi manusia unggul.
Tapi bagi sebagian orang sekolah merupakan sesuatu yang “menakutkan”. Mulai
dari tes seleksi yang ketat, nilai yang
buruk, moralitas anak sekolah, rasa tertekan anak karena rutinitas sekolah,
proses kelulusan, sampai biaya sekolah yang makin tak terjangkau. Hal ini mengundang
banyak pemerhati pendidikan untuk
berlomba-lomba menawarkan solusi, salah satunya adalah Munif Chatib dalam
bukunya “Sekolahnya Manusia”. Penulis menyajikan pengupasan yang lengkap dalam memahami dunia sekolah dan solusi
komprehensif untuk mengatasinya melalui metode multiple intelligences system [MIS]. MIS sendiri merupakan adopsi
dari teori kecerdasan jamak atau multiple
intelligence yang dikembangkan oleh
Dr. Howard Gardner pada tahun 1983 dan masih terus berkembang hingga saat ini. Buku
ini menjadi menarik karena menguraikan pengalaman Penulis dalam menerapkan MIS
di Indonesia, sesuatu yang berbeda dari mainstream
metode pendidikan konvensional di Indonesia.
Kesalahan yang
dilestarikan
Selama ini, banyak sekolah
menitikberatkan penilaian siswanya pada aspek kognitif saja. Siswa diseleksi
masuk dengan tes kemampuan kognitif, lalu dihadapkan pada rutinitas di ruang
kelas sejak pagi hingga siang untuk mendengarkan ceramah guru, lalu mengerjakan
ulangan pada akhir semester, menerima rapor hasil belajar yang diukur dengan
angka-angka dan ranking yang menunjukkan kemampuan kognitif, dan pada akhir
masa belajar menjalani tes kelulusan yang berupa deretan angka-angka. Hasilnya,
anak-anak yang cerdas secara kognitif akan selalu unggul sedangkan anak yang
“tidak cerdas” akan selalu di belakang. Padahal sesuai teori MI, kecerdasan
anak tidak hanya terletak pada kecerdasan kognitif saja tapi juga pada
kecerdasan linguistik, naturalis, spasial-visual, logis-matematis, musikal,
kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal.
Sebenarnya mengapa banyak siswa
tidak menikmati proses belajar di kelas? Penulis mencatat adanya penyakit disteachia yang menjangkiti sekolah
sehingga proses belajar jadi membosankan. Pertama adalah porsi ceramah yang
dilakukan guru sangat dominan sehingga siswa tak punya kesempatan untuk
beraktivitas atau belajar dengan praktek langsung. Kedua adalah guru tak
menjelaskan atau mengajak siswa untuk menemukan manfaat belajar suatu bab
pelajaran. Dan yang ketiga adalah tracking
atau pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya, ada kelas unggulan
untuk anak pintar dan nonunggulan untuk anak bodoh.
Jika setiap anak dikembangkan
sesuai potensi kecerdasannya, maka mereka akan jadi manusia yang unggul. Dan
sebaliknya, jika potensi kecerdasan tidak diakui atau bahkan dicerabut dengan
alasan standardisasi sistem pendidikan, anak-anak ini bisa jadi manusia yang
tertekan kelak.
Bukan sekolah
robot
Seekor pinguin berjalan lambat di
darat dan akan percuma kalau kita mengajarkannya untuk berjalan cepat. Tapi
jangan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ia adalah binatang yang lamban, tunggu
sampai ia masuk ke air dan memukau kita dengan luncuran supercepat dan lincah.
Begitu juga, sekolah tak bisa memaksa seorang siswa yang suka melukis untuk
duduk diam mendengarkan ceramah pelajaran matematika dan mengharapkannya
mendapat nilai 9. Alih-alih melabelinya “bodoh”, sekolah harusnya bisa
memfasilitasi bakat melukis untuk memupuk percaya dirinya.
Titik tolak MIS adalah memanusiakan
manusia, mengakui dan mengembangkan potensi dan keunikan masing-masing anak
serta mengubur jauh-jauh kekurangannya. Hal ini tampak sejak proses pendaftaran
yang tanpa seleksi atau rankingisasi, karena MIS menitikberatkan pada the best process bukan the best input. Alat yang digunakan
adalah multiple intelligence research
[MIR] yang digunakan untuk memetakan kecenderungan kecerdasan calon siswa.
Hasil MIR inilah yang kemudian dijadikan panduan untuk menentukan gaya belajar
dan menyusun gaya mengajar guru. Setiap anak punya gaya belajar unik dan tidak
bisa disamakan satu sama lain, karena itu gaya mengajar guru harus menyesuaikan
gaya belajar siswa agar siswa dapat belajar secara maksimal.
Dalam proses belajar, guru menyusun action plan untuk tiap pertemuan. Selain
teori dan pengetahuan, siswa juga diajak untuk beraktivitas terjun langsung ke
praktek di dunia nyata. Porsi waktu untuk teori dengan beraktivitas adalah
30:70 dengan pertimbangan siswa jauh lebih mudah menyerap suatu hal ketika ia
belajar dengan cara “melihat-mengucapkan-melakukan” daripada dengan hanya
mendengar atau membaca. Hal ini juga dilakukan agar siswa memahami manfaat dari
hal-hal yang mereka pelajari dan menyerap ilmu secara global, bukan parsial.
Proses penilaian dilakukan pada
setiap kesempatan, bukan hanya pada akhir semester atau waktu-waktu khusus
saja. Sistem penilaian menggunakan penilaian autentik, tes disusun untuk
mengajak siswa belajar mengevaluasi permasalahan dan menemukan jalan keluar. Aspek
yang dinilai juga bukan hanya aspek kognitif tapi juga psikomotorik dan
afektif. Siapa saja yang menilai? Guru dan orang tua. Diharapkan dengan cara
ini, ada keselarasan pola belajar di sekolah dan di rumah.
Dengan karakteristik dan gaya belajar siswa yang
sangat beragam, Guru dituntut untuk mau belajar dan selalu kreatif menciptakan
gaya mengajar yang sesuai, karena yang dihadapinya adalah manusia, bukan robot
yang statis dan monoton.
MI di
Indonesia
Setelah melalui riset panjang,
Penulis merintis penerapan MI di beberapa sekolah di Jawa Timur dan telah
mencatat keberhasilan dari suatu sistem pendidikan baru yang awalnya tampak
rumit dan mustahil. Belasan kisah siswa yang sebelumnya dilabeli berbagai macam
hal seperti suka memukul, tak bisa diam, lambat belajar, sulit berkonsentrasi,
tidak mau menulis, dan sebagainya ternyata berhasil menjadi siswa yang unggul
dan menonjol pada suatu bidang setelah guru menerapkan sistem MIS dalam proses
belajarnya.
Sebutlah Azam [kelas 1 SD] yang
suka memukul teman-temannya, dengan pendekatan interpersonal dan penerapan MIS
oleh Sang guru akhirnya berubah menjadi anak yang penyayang dan bahkan selalu
melindungi teman-temannya. Atau Nadia yang memiliki kekurangan fisik, hanya
memiliki satu kaki sehingga introvert dan tidak percaya diri, dengan penerapan
MIS berhasil melejitkan potensinya sebagai seorang olahragawan cilik yang
percaya diri.
Begitulah buku ini menawarkan alternatif
baru bagi para praktisi pendidikan agar dapat memperbaiki sistem sehingga
siswa, guru, dan sekolah sama-sama diuntungkan selama proses belajar mengajar.
Bagi para orang tua, dapat menjadi panduan agar lebih memperhatikan dan
mengevaluasi pendidikan anak-anaknya di sekolah.
***
Resensi buku pertama yg saya buat. jd maklum kalo masih wagu dan lucu ya :D
Diikutkan lomba Mak Ully
http://owleyelfiana.multiply.com/journal/item/135/Lomba-Menulis-Review-Buku?replies_read=5