Wednesday, 5 December 2012

[resensi buku] Sekolahnya Manusia



Sekolahnya Manusia
Munif Chatib



 
Sekolah seharusnya menjadi tempat manusia mengembangkan diri dan pengetahuan agar tumbuh menjadi manusia unggul. Tapi bagi sebagian orang sekolah merupakan sesuatu yang “menakutkan”. Mulai dari tes  seleksi yang ketat, nilai yang buruk, moralitas anak sekolah, rasa tertekan anak karena rutinitas sekolah, proses kelulusan, sampai biaya sekolah yang makin tak terjangkau. Hal ini mengundang banyak pemerhati  pendidikan untuk berlomba-lomba menawarkan solusi, salah satunya adalah Munif Chatib dalam bukunya “Sekolahnya Manusia”. Penulis menyajikan pengupasan yang lengkap  dalam memahami dunia sekolah dan solusi komprehensif untuk mengatasinya melalui metode multiple intelligences system [MIS]. MIS sendiri merupakan adopsi dari teori kecerdasan jamak atau multiple intelligence  yang dikembangkan oleh Dr. Howard Gardner pada tahun 1983 dan masih terus berkembang hingga saat ini. Buku ini menjadi menarik karena menguraikan pengalaman Penulis dalam menerapkan MIS di Indonesia, sesuatu yang berbeda dari mainstream metode pendidikan konvensional di Indonesia.

Kesalahan yang dilestarikan
Selama ini, banyak sekolah menitikberatkan penilaian siswanya pada aspek kognitif saja. Siswa diseleksi masuk dengan tes kemampuan kognitif, lalu dihadapkan pada rutinitas di ruang kelas sejak pagi hingga siang untuk mendengarkan ceramah guru, lalu mengerjakan ulangan pada akhir semester, menerima rapor hasil belajar yang diukur dengan angka-angka dan ranking yang menunjukkan kemampuan kognitif, dan pada akhir masa belajar menjalani tes kelulusan yang berupa deretan angka-angka. Hasilnya, anak-anak yang cerdas secara kognitif akan selalu unggul sedangkan anak yang “tidak cerdas” akan selalu di belakang. Padahal sesuai teori MI, kecerdasan anak tidak hanya terletak pada kecerdasan kognitif saja tapi juga pada kecerdasan linguistik, naturalis, spasial-visual, logis-matematis, musikal, kinestetik, intrapersonal, dan interpersonal.
Sebenarnya mengapa banyak siswa tidak menikmati proses belajar di kelas? Penulis mencatat adanya penyakit disteachia yang menjangkiti sekolah sehingga proses belajar jadi membosankan. Pertama adalah porsi ceramah yang dilakukan guru sangat dominan sehingga siswa tak punya kesempatan untuk beraktivitas atau belajar dengan praktek langsung. Kedua adalah guru tak menjelaskan atau mengajak siswa untuk menemukan manfaat belajar suatu bab pelajaran. Dan yang ketiga adalah tracking atau pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya, ada kelas unggulan untuk anak pintar dan nonunggulan untuk anak bodoh.
Jika setiap anak dikembangkan sesuai potensi kecerdasannya, maka mereka akan jadi manusia yang unggul. Dan sebaliknya, jika potensi kecerdasan tidak diakui atau bahkan dicerabut dengan alasan standardisasi sistem pendidikan, anak-anak ini bisa jadi manusia yang tertekan kelak.

Bukan sekolah robot
Seekor pinguin berjalan lambat di darat dan akan percuma kalau kita mengajarkannya untuk berjalan cepat. Tapi jangan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ia adalah binatang yang lamban, tunggu sampai ia masuk ke air dan memukau kita dengan luncuran supercepat dan lincah. Begitu juga, sekolah tak bisa memaksa seorang siswa yang suka melukis untuk duduk diam mendengarkan ceramah pelajaran matematika dan mengharapkannya mendapat nilai 9. Alih-alih melabelinya “bodoh”, sekolah harusnya bisa memfasilitasi bakat melukis untuk memupuk percaya dirinya.
Titik tolak MIS adalah memanusiakan manusia, mengakui dan mengembangkan potensi dan keunikan masing-masing anak serta mengubur jauh-jauh kekurangannya. Hal ini tampak sejak proses pendaftaran yang tanpa seleksi atau rankingisasi, karena MIS menitikberatkan pada the best process bukan the best input. Alat yang digunakan adalah multiple intelligence research [MIR] yang digunakan untuk memetakan kecenderungan kecerdasan calon siswa. Hasil MIR inilah yang kemudian dijadikan panduan untuk menentukan gaya belajar dan menyusun gaya mengajar guru. Setiap anak punya gaya belajar unik dan tidak bisa disamakan satu sama lain, karena itu gaya mengajar guru harus menyesuaikan gaya belajar siswa agar siswa dapat belajar secara maksimal.
Dalam proses belajar, guru menyusun action plan untuk tiap pertemuan. Selain teori dan pengetahuan, siswa juga diajak untuk beraktivitas terjun langsung ke praktek di dunia nyata. Porsi waktu untuk teori dengan beraktivitas adalah 30:70 dengan pertimbangan siswa jauh lebih mudah menyerap suatu hal ketika ia belajar dengan cara “melihat-mengucapkan-melakukan” daripada dengan hanya mendengar atau membaca. Hal ini juga dilakukan agar siswa memahami manfaat dari hal-hal yang mereka pelajari dan menyerap ilmu secara global, bukan parsial.
Proses penilaian dilakukan pada setiap kesempatan, bukan hanya pada akhir semester atau waktu-waktu khusus saja. Sistem penilaian menggunakan penilaian autentik, tes disusun untuk mengajak siswa belajar mengevaluasi permasalahan dan menemukan jalan keluar. Aspek yang dinilai juga bukan hanya aspek kognitif tapi juga psikomotorik dan afektif. Siapa saja yang menilai? Guru dan orang tua. Diharapkan dengan cara ini, ada keselarasan pola belajar di sekolah dan di rumah.
Dengan karakteristik dan gaya belajar siswa yang sangat beragam, Guru dituntut untuk mau belajar dan selalu kreatif menciptakan gaya mengajar yang sesuai, karena yang dihadapinya adalah manusia, bukan robot yang statis dan monoton.

MI di Indonesia
Setelah melalui riset panjang, Penulis merintis penerapan MI di beberapa sekolah di Jawa Timur dan telah mencatat keberhasilan dari suatu sistem pendidikan baru yang awalnya tampak rumit dan mustahil. Belasan kisah siswa yang sebelumnya dilabeli berbagai macam hal seperti suka memukul, tak bisa diam, lambat belajar, sulit berkonsentrasi, tidak mau menulis, dan sebagainya ternyata berhasil menjadi siswa yang unggul dan menonjol pada suatu bidang setelah guru menerapkan sistem MIS dalam proses belajarnya.
Sebutlah Azam [kelas 1 SD] yang suka memukul teman-temannya, dengan pendekatan interpersonal dan penerapan MIS oleh Sang guru akhirnya berubah menjadi anak yang penyayang dan bahkan selalu melindungi teman-temannya. Atau Nadia yang memiliki kekurangan fisik, hanya memiliki satu kaki sehingga introvert dan tidak percaya diri, dengan penerapan MIS berhasil melejitkan potensinya sebagai seorang olahragawan cilik yang percaya diri.
Begitulah buku ini menawarkan alternatif baru bagi para praktisi pendidikan agar dapat memperbaiki sistem sehingga siswa, guru, dan sekolah sama-sama diuntungkan selama proses belajar mengajar. Bagi para orang tua, dapat menjadi panduan agar lebih memperhatikan dan mengevaluasi pendidikan anak-anaknya di sekolah.

***

Resensi buku pertama yg saya buat. jd maklum kalo masih wagu dan lucu ya :D
Diikutkan lomba Mak Ully http://owleyelfiana.multiply.com/journal/item/135/Lomba-Menulis-Review-Buku?replies_read=5


No comments:

Post a Comment