Kemajuan teknologi yang terjadi 40 tahun terakhir seolah telah memindahkan umat manusia dari planet bernama
bumi ke planet digital. Surat berubah menjadi e-mail, telepon kabel
berubah senjadi smartphone, koran dan buku cetak menjadi e-paper dan e-book. Perubahan
besar terjadi di segala bidang, mulai
dari kebiasaan personal hingga perbaikan fasilitas layanan publik, mulai dari proses
berbelanja hingga proses belajar mengajar mengalami perubahan. Perubahan ini
membawa banyak sekali manfaat seperti semakin cepatnya komunikasi, meningkatnya
kualitas layanan publik, tumbuhnya peluang dunia usaha, serta mudahnya akses
informasi dan pembelajaran.
Menghadapi perubahan tersebut,
kita sebagai orang tuapun harus bersiap dan beradaptasi jika tak ingin
terlindas dan kalah oleh perubahan. Adaptasi terbesar yang harus dipersiapkan
adalah mengenai pengasuhan anak. Kebiasaan anak-anak saat ini telah jauh
berbeda dengan kebiasaan anak 30 tahun tahun yang lalu. Dahulu anak-anak akrab
dengan lumpur dan sungai, bermain di lapangan rumput yang berlimpah sinar
matahari, belum mengenal televisi apalagi smartphone. Sedangkan anak jaman
sekarang mungkin tak lagi pernah menginjak rumput dan memegang lumpur, lebih
menyukai ruangan sejuk ber AC daripada panasnya sinar matahari, dan tentunya
banyak ditemani gadget dalam kegiatan sehari-hari.
Kebiasaan yang berbeda dan
lingkungan yang berubah karena perkembangan teknologi menghasilkan
masalah-masalah baru yang belum diketahui oleh orangtua di masa peralihan. Dahulu
ketika saya masih di bangku SD, masalah yang sering muncul adalah peralatan sekolah
yang rusak, tas teman yang lebih bagus, sepeda baru hadiah kenaikan kelas, dan
menunggu waktu pulang sekolah agar bisa main lompat tali sampai sore. Sedangkan
anak-anak yang tumbuh sebagai digital native [1], memiliki permasalahan yang lebih
rumit. Derasnya arus informasi membuat anak-anak terpapar konten negatif yang
belum saatnya mereka ketahui, misalnya pornografi dan kekerasan yang ditonton
dari tayangan media digital.
Survey APJII [Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia] pada tahun 2016
mengungkapkan bahwa anak usia 10-14 tahun yang telah mulai aktif menggunakan
internet jumlahnya mencapai 768.000 anak. Mungkin hal ini tak lagi
mengejutkan, mengingat bahwa dalam keseharian kita juga telah terbiasa
mendapati anak-anak prasekolah atau anak usia SD yang sangat akrab dengan
gadget-nya sepanjang hari. Namun orang tua harus mewaspadai fenomena ini, karena
semakin dini anak-anak terpapar internet maka semakin besar kemungkinan mereka
mendapatkan pengaruh negatif. Sebagian besar platform media sosial mensyaratkan
usia 13 tahun untuk menjadi pengguna aktif, hal ini tentunya bukan tanpa alasan.
Anak-anak dibawah usia 13 tahun merupakan kelompok yang paling rentan terkena
pengaruh negatif dari penggunaan media digital yang berlebihan. Anak-anak yang sangat muda, bahkan bisa mengalami gangguan perilaku, gangguan perkembangan bahasa, serta gangguan motorik dan masalah kesehatan karena mengakses media digital secara tak terkendali.
Sesuai fitrahnya, anak-anak
selalu ingin tahu, suka meniru, dan polos. Titik inilah yang harus mendapatkan
perhatian penuh dari orang tua. Media digital, khususnya internet, merupakan
rimba raya informasi yang dihuni jutaan netizen anonim dari seluruh penjuru
dunia dengan berbagai macam perilaku. Ada ribuan konten negatif diposting setiap detiknya,
mulai dari tayangan kekerasan, foto-foto bermuatan pornografi dan pornoaksi,
hoax, kata-kata kasar, lagu dan film untuk segmen dewasa, serta pelecehan
personal. Bayangkan jika anak-anak yang polos dan suka meniru ini mengakses konten
tersebut karena tak ada orang tua yang mendampinginya. Bayangkan betapa dahsyat
pengaruh negatif dan daya rusak media digital jika ia tak digunakan secara aman
dan bijaksana.
Sayangnya, pengaruh negatif media
digital telah memakan korban. Anak dan remaja yang menggunakan internet tanpa
panduan dan bimbingan orang tua sangat rentan terhadap bahaya. Sebagian besar
tidak menyadari bahwa bertukar informasi pribadi dan bertemu dengan orang asing
yang dikenal dari media sosial adalah hal yang sangat berresiko. Komisi
Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa pemerkosaan pada remaja putri oleh
kenalannya di media sosial mulai muncul tahun 2011 sebanyak 36 kasus. Tahun
2012, sebanyak 29 kasus dan pada Januari-Maret 2013 jumlahnya naik lagi menjadi
37 kasus. Pada tahun 2016, KPAI menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat. Dari
jumlah itu, sebanyak 414 kasus merupakan kasus kejahatan anak berbasis siber.
Permasalahan yang harus dihadapi
keluarga dalam era digital merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah ada
sebelumnya. Setelah ribuan tahun manusia membangun peradaban di bumi, baru kali
inilah manusia harus menghadapi permasalahan karena perkembangan teknologi
digital. Orang tua menghadapi kebiasaan dan masalah baru dalam membesarkan
anak-anak sehingga harus mencari pola pengasuhan yang sesuai dengan perubahan
zaman. Tentunya hal ini tidak mudah, banyak orang tua yang merasa canggung dan
kebingungan menghadapi era digital. Namun karena tanggung jawab utama
pengasuhan berada di tangan orang tua, maka mau tak mau, tahu tak tahu, orang
tua harus memegang kendali penuh. Jika orang tua tak tahu dan tak mau belajar,
anak-anak yang akan terpapar pengaruh negatif media digital, sehingga satu-satunya
jalan orang tua harus tahu dan mau belajar apa itu pengasuhan era digital.
Menghadapi era digital yang cepat
sekali berubah, orang tua harus selalu meng-upgrade kemampuannya, baik itu
kemampuan parenting maupun kemampuan terkait teknologi yang akrab dengan
kehidupan anak-anak. Orang tua dapat menangguk manfaat dari mudahnya mencari
informasi di era digital seperti saat ini. Informasi mengenai parenting
dapat dengan mudah didapatkan dari blog, e-book, atau media sosial seperti
fanpage Yayasan Kita dan Buah Hati. Informasi mengenai memanfaatkan internet
dengan aman dan sehat juga sangat mudah dicari. Menjadi orang tua pembelajar adalah suatu keniscayaan bagi siapapun yang ingin melewati masa peralihan ini dengan baik.
Selain meng-upgrade kemampuan,
orang tua juga harus menginstal software vital yang bermanfaat untuk membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan teknologi digital, yaitu sikap mental positif. Salah satu software yang paling penting adalah yang
bernama “software spiritual” yang berisi nilai-nilai agama, kejujuran, kasih
sayang, dan tenggang rasa. Yang kedua adalah “software self esteem” yang harus
diinstal sejak seorang anak lahir di dunia dengan cara: memenuhi kebutuhan akan
rasa aman, rasa berharga, unconditonal love, dan penerimaan diri. Self esteem
akan membuat anak merasa berharga, mandiri, dan berani bertanggung jawab atas
apa yang dilakukannya. Sikap mental positif ini akan menjadi senjata ketika anak menghadapi berbagai pengaruh negatif, anak berani mengambil sikap berbeda ketika lingkungannya membawa hal buruk. Yang ketiga adalah “software pengetahuan dasar
memanfaatkan media digital dengan bijak” yang berisi berbagai macam kesepakatan
dan peraturan yang harus dipenuhi anak ketika menggunakan media digital. Misalnya:
tidak memposting informasi pribadi [alamat rumah, nama lengkap, nomor HP] di
internet, tidak memajang foto yang bersifat privat, membatasi waktu menonton TV
atau menggunakan internet selama 1 jam per hari, tidak menemui orang asing yang
dikenal lewat media sosial, dan selalu bercerita kepada orang tua tentang
aktivitas di dunia maya.
Karena media digital menawarkan
segala sesuatu yang dikemas dengan menarik, maka orang tua harus mencari cara
bagaimana menghadirkan hal yang lebih menarik dari media digital agar anak
tidak kecanduan media digital. Mengenalkan anak pada berbagai macam kegiatan
akan membuat anak lebih aktif dan kreatif, misalnya membaca buku bersama,
membuat barang kerajinan, membuat percobaan sains sederhana sesuai usia anak,
berolahraga, beraktivitas di luar ruangan, berjalan-jalan ke museum, hingga berpetualang
ke taman kota, pantai, atau gunung. Orang tua juga harus selalu mendampingi dan mengawasi kegiatan anak ketika menggunakan media digital.
Era digital telah menggelar
karpet merahnya, menunggu orang-orang yang berani berubah untuk memperoleh
manfaat lebih banyak dan mencapai kesuksesan dengan lebih mudah. Jika sebagai
orang tua kita telah mempersiapkan diri dengan matang, maka saatnya menguatkan
diri untuk mengambil kendali penuh atas pengasuhan anak-anak kita. Jangan sampai
kita lalai dan menyerahkan begitu saja semua tanggung jawab pengasuhan anak kita
kepada pengasuh atau guru di sekolah, karena kelak kita orang tuanyalah yang
akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pengasuhan anak kita. Jika semua
orang tua peduli, saling mendukung dengan pihak sekolah dan lingkungan sekitar,
maka tak berlebihan rasanya jika kita berharap anak-anak kita akan tumbuh pada
era digital yang ramah anak di Indonesia.
[1] Manusia yang telah mengenal media digital sejak mereka lahir
semoga sukses ya mba untuk lombanya Konveksi Polo Shirt Bandung
ReplyDelete