Thursday, 31 August 2017

Bekerja Bersama #UbahJakarta: Naik MRT itu Keren!

Akhir tahun 2006 saya mulai berkenalan dengan jalanan Ibu Kota, melihat langsung bagaimana ratusan penumpang KRL bergelantungan di pintu dan atap kereta serta masuk dalam antrian panjang di shelter Transjakarta pada jam pulang kerja. Saat itu saya adalah salah seorang fresh graduate yang mulai menjajakan ijazah di Jakarta, merasakan bagaimana setiap ruas jalan di kota metropolitan ini dicekam kemacetan sepanjang waktu. Angkutan kota yang berhenti sembarangan, para pengendara yang tak mematuhi rambu lalu lintas, membengkaknya jumlah kendaraan pribadi, terbatasnya jumlah jalan darat, dan tidak tersedianya transportasi massal yang layak sering disebut sebagai biang keladi kemacetan Jakarta. Menyedihkan sekali mendapati hal itu sudah berlangsung puluhan tahun di Ibu Kota negara sekaligus kota metropolitan terbesar di Indonesia.



Masalah transportasi yang carut-marut menyumbangkan kerugian bagi banyak pihak. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan bahwa kerugian akibat kemacetan ibu kota menyebabkan kerugian hingga Rp. 150 Trilyun per tahun, karena meningkatnya konsumsi bahan bakar, biaya kesehatan karena paparan polusi selama macet, hingga berkurangnya waktu kerja produktif [1]. Bukan hanya kerugian ekonomi karena kemacetan, membludaknya jumlah kendaraan juga bertanggungjawab atas penurunan kualitas udara di Jakarta. Greenpeace Indonesia menyebutkan, pada semester I tahun 2016, tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan World Health Organization (WHO), dan tiga kali lebih besar dari standar yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Kualitas udara yang buruk dengan tingkat polusi tinggi dapat menyebabkan penyakit kronis mulai dari kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung, stroke, hingga kematian dini. Berdasarkan data 2013, tercatat 5,5 juta kematian di dunia berhubungan dengan polusi udara. [2]. Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia mengungkapkan data bahwa 60% masalah kesehatan di Jakarta bersumber dari polusi udara [3].

Mengingat besarnya nilai kerugian akibat kemacetan dan polusi jalanan, maka membangun sistem transportasi massal yang terpadu dan ramah lingkungan menjadi sangat urgen dilakukan di Jakarta. Menambah ruas jalan darat untuk kendaraan pribadi tidak mungkin dilakukan terus menerus karena keterbatasan lahan. Panjang ruas jalan tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan bermotor yang mencapai angka 16,07 juta unit [Data Statistik Transportasi DKI Jakarta 2015, 4] sehingga pembangunan jalan baru tidak bisa diandalkan untuk melepaskan Jakarta dari kemacetan. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam regulasi untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi yang melaju di jalanan Jakarta dan mengalihkannya pada transportasi massal. Bus Transjakarta dan commuter line adalah dua moda transportasi yang menjadi idola warga Jakarta saat ini. Meskipun transportasi massal telah berbenah, namun jumlah masyarakat yang memanfaatkannya masih sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 15% [5]. Hal ini disebabkan berbagai macam faktor, misalnya stasiun atau shelter Transjakarta yang sulit diakses karena ketiadaan feeder bus dan keengganan memakai transportasi massal yang bersifat individual.

Andalan untuk merubah Jakarta

Jakarta pernah menjadi pionir dalam hal pembangunan sarana transportasi massal tapi kemudian mengendor dan akhirnya tertinggal jauh dari negara tetangga seperti Singapura atau Jepang. Tahun 1869, ketika negara-negara lain di Asia belum terpikirkan untuk membangun jalur transportasi umum, Batavia telah telah memiliki jalur kereta yang menghubungkannya dengan Buitenzorg [Bogor][6]. Saat ini, hampir 150 tahun kemudian, Jakarta sedang mengejar ketertinggalan dan memiliki harapan baru untuk memperbaiki sistem transportasi massal yang handal dengan dibangunnya Mass Rapid Transit Jakarta [MRTJ].

Mass Rapid Transit diterjemahkan sebagai moda transportasi dalam kota yang dapat  mengangkut banyak orang [massal] dengan jeda waktu pendek [rapid]. Sistem transportasi ini telah puluhan tahun diadopsi oleh banyak negara di dunia, termasuk negara-negara ASEAN seperti Filipina yang memelopori pembangunan Metro Manila pada tahun 1984. Saat ini, Singapura adalah tetangga terdekat kita yang telah menangguk kesuksesan dari pembangunan MRT yang telah dirintis sejak 1987. Jaringan MRT di Singapura  membentang sejauh 148,9 km dengan 102 stasiun [7]. MRT telah terbukti menjadi jalan keluar bagi permasalahan kemacetan yang menghantui kota-kota besar di dunia.

Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia-pun mulai berbenah dengan membangun MRT Jakarta [MRTJ] yang akan membentang sepanjang 110.8km meliputi Koridor Selatan – Utara [Lebak Bulus – Kampung Bandan]. Koridor Selatan- Utara ini akan dibangun dalam 2 fase, fase 1 dengan rute Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia dan fase 2 meliputi rute Bundaran HI – Kampung Bandan.



Pada fase 1, proyek MRT Jakarta melakukan dua pekerjaan konstruksi yaitu jalur layang dan bawah tanah, dengan delapan paket kontrak yaitu tiga paket kontrak jalur layang (CP101 – 103), tiga paket kontrak jalur bawah tanah (CP 104 – 106), satu paket kontrak sistem railway dan trackwork (CP 107), dan kontrak rolling stock/kereta (CP108). Paket kontrak tersebut akan memastikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk jalur koridor 1 yang melayani rute selatan – utara ini siap beroperasi pada Maret 2019 nanti. Jalur koridor 1 ini akan membentang sepanjang 16 kilometer dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia, dengan perincian 10 km jalur layang dan 6 km jalur bawah tanah. Di jalur layang akan tersedia tujuh stasiun, yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Sedangkan jalur bawah tanah, akan dibangun enam stasiun bawah tanah, meliputi Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan Bundaran Hotel Indonesia. [8]

MRTJ yang direncanakan akan mulai beroperasi pada  akhir 2019 dapat mengangkut 173.400 penumpang per hari dengan kapasitas 1.950 penumpang tiap kereta yang terdiri dari 6 rangkaian. Bersinergi dengan moda transportasi lain seperti Transjakarta, commuter line, hingga LRT [Light Rail Transit], MRT dinilai banyak pihak dapat menjadi andalan untuk memutus rantai kemacetan di Ibu Kota. Apalagi PT. MRTJ selaku pengelola MRTJ telah merencanakan pembangunan terintegrasi yang dapat menjadi nilai tambah bagi MRT, misalnya TOD [transit Oriented Development], circular pedestrian yang nyaman digunakan pejalan kaki, feeder bus dan integrasi dengan moda transportasi lain, hingga penyediaan area parkir agar tidak mengganggu lalu lintas di sekitar stasiun MRT.


Masterplan circular pedestrian dan TOD di Dukuh Atas


Man behind the gun

MRTJ merupakan alat atau sarana untuk melepaskan diri dari kemacetan, secanggih apapun alatnya, tidak akan berpengaruh jika pengguna-nya tidak antusias. Alat dan penggunanya harus bersinergi membangun bidikan yang tepat untuk menuntaskan kemacetan. Pengguna disini tentunya adalah warga Jakarta yang setiap hari perlu berpindah tempat untuk bekerja atau melakukan aktivitas lainnya. Antusiasme warga menggunakan transportasi massal saat ini masih rendah, mungkin sekali akibat rendahnya kepercayaan kepada kualitas layanan transportasi massal. Sebagian warga juga masih berkutat pada anggapan bahwa menggunakan kendaraan pribadi adalah ukuran prestise seseorang, sementara transportasi umum lebih pantas digunakan oleh golongan menengah ke bawah.

Rendahnya kepercayaan warga pada layanan transportasi umum dapat dipahami karena selama puluhan tahun pengguna transportasi umum memang mengalami kekecewaan berulangkali karena pelayanan yang jauh dari layak. Bus kota yang telah uzur namun tak kunjung diganti jumlahnya mencapai 65% dari jumlah total kendaraan angkutan umum di Jakarta [9]. Jadwal kereta Jabodetabek yang masih sering terlambat, trotoar yang rusak dan tertutup kegiatan komersil, hingga pencopet yang sering beraksi di angkutan umum tentu menjadi alasan kenapa masih banyak warga Jakarta yang memilih menggunakan kendaraan pribadi alih-alih transportasi umum. Kekecewaan yang terjadi belasan tahun kemudian memicu munculnya anggapan bahwa “angkutan umum hanyalah milik mereka yang tak berpunya”.

Transportasi massal ideal yang memenuhi syarat keamanan, kenyamanan, dan bebas macet masih menjadi rencana hingga saat ini. Perlu kerjasama semua pihak untuk mewujudkannya, mulai dari Presiden, penyelenggara, hingga warga Jakarta sebagai pengguna utama transportasi massal. Saat ini, PT. MRTJ berusaha mewujudkan sistem transportasi massal yang ideal sekaligus membangun kesadaran dan antusisme warga melalui kampanye media sosial dengan tagar #ubahjakarta. Jika keduanya terwujud, maka Jakarta benar-benar akan berubah dan memiliki wajah baru tahun 2019.

Naik MRT itu keren!

Melalui kampanye #ubahJakarta, PT. MRTJ mengajak warga untuk berperan aktif mengubah Jakarta dimulai dari diri sendiri. Salah satu peran aktif mengubah Jakarta bisa dilakukan dengan beralih ke transportasi massal yang handal, seperti MRT. Ya, naik MRT itu keren lho! Kenapa? Karena MRT menawarkan solusi untuk berbagai permasalahan transportasi yang dialami Jakarta, yaitu:

            1. MRT cepat, terintegrasi, dan anti kemacetan

            MRT berjalan di jalur bawah tanah dan layang [elevated] sehingga tidak akan mengganggu                 dan terganggu dengan lalu lintas di jalan konvensional. Ketika sebagian warga yang biasanya               menggunakan kendaraan pribadi kemudian beralih menggunakan MRT, maka kepadatan di                 jalan raya juga dapat berkurang drastis.
Jadwal MRT yang supercepat [pemberangkatan setiap 5 menit] juga akan menguraikan simpul-simpul kepadatan penumpang di sepanjang rute MRT. Selain itu, MRT juga terintegrasi dengan layanan transportasi lain seperti LRT, kereta bandara, commuterline, dan transjakarta sehingga penumpang dapat melanjutkan perjalanan dengan efisien.

2. MRT membantu mengurangi polusi udara

Jika kendaraan pribadi hanya mengangkut 1-7 orang dalam sekali perjalanan, maka MRT mampu menampung 1.950 penumpang dalam sekali perjalanan. Jika ada 1000 orang yang beralih menggunakan MRT maka akan ada pengurangan signifikan jumlah kendaraan pribadi di jalanan dan itu berarti menurunkan angka emisi gas buang kendaraan bermotor di udara Jakarta.

3. MRT mudah diakses

MRT fase 1 sepanjang 16km direncanakan memiliki 13 titik stasiun di tempat-tempat strategis. Jika dibuat rerata, maka jalur MRT akan memiliki satu stasiun pemberhentian tiap 1.2km. Hal ini akan memudahkan calon penumpang mengakses stasiun yang paling dekat dengan pemukiman atau tempat kerja mereka.
Keseriusan MRT dalam membangun jalur yang mudah diakses juga tercermin dengan rencana pembangunan circular pedestrian di stasiun Dukuh Atas yang merupakan salah satu puncak kepadatan. 

4. MRT aman

MRT Jakarta beroperasi dengan standar internasional, memenuhi nilai keamanan, kenyamanan, dan dapat diandalkan. Dalam pembangunannya, jalur MRT Jakarta didesain tahan terhadap gempa mengikuti Standar Nasional Indonesia. Sistem anti-banjir juga sudah disiapkan untuk menghindari banjir masuk terowongan. Akses air dari luar stasiun bawah tanah hanya melalui area pintu masuk yang terletak di area pejalan kaki, yang tingginya sekitar 30 cm – 100 cm dari permukaan jalan. Sehingga jika terjadi situasi rentan banjir maka pintu masuk akan ditinggikan sebelum penumpang turun dengan tangga atau eskalator. Selain itu, terdapat flood gate dan rolling door yang berfungsi sebagai flood barrier siap menutup akses pintu masuk bila air semakin tinggi. MRTJ juga berkomitmen menjamin keamanan selama proses konstruksi maupun setelah jalur MRT beroperasi dengan menempatkan tenaga pengamanan dan CCTV di setiap stasiun [10].

5. MRT nyaman untuk semua
MRT melibatkan banyak pihak selama proses perencanaan dan pembangunan, sehingga warga dapat menggunakan MRT dengan nyaman. Fasilitas khusus yang memudahkan kaum difabel [jalan tactile untuk tunanetra, gate khusus untuk pengguna kursi roda, elevator dan posisi peron yang memudahkan lalu lintas difabel, dan bangku khusus untuk difabel] dan orang dengan kebutuhan khusus [ruang laktasi untuk ibu menyusui, bangku prioritas untuk anak/lansia/ibu hamil]. MRT juga menyediakan arena komersil yang dapat digunakan para penumpang untuk menikmati makan, minum, atau menjalin relasi sosial.

6. MRT hemat
Penggunaan kendaraan pribadi memerlukan BBM yang tidak sedikit dan biaya operasional tinggi, dengan beralih menggunakan MRT maka dana transportasi bisa dihemat dan dialokasikan untuk keperluan lain.



Masalah transportasi Jakarta yang carut-marut selama puluhan tahun, kini seolah mendapatkan titik terang dengan keberadaan MRT. Namun lagi-lagi perlu kita ingat, perubahan membutuhkan 2 pihak yang saling bekerjasama. Sarana transportasi massal yang handal dan warga kota yang mau mengubah pilihan moda transportasi akan bersinergi mengubah wajah kota Jakarta menjadi lebih ramah dan layak huni. Data survei Kompas pada Februari 2017 menunjukkan bahwa 45% pengendara mobil memutuskan akan beralih ke MRT sedangkan 42% menyatakan mungkin akan beralih ke MRT dan sisanya 11% menyatakan tidak akan beralih [11]. 42% pengguna mobil yang menyatakan kemungkinan beralih ke MRT adalah lahan yang harus digarap dengan serius untuk memperoleh perubahan yang signifikan. Angka ini cukup besar sehingga merupakan tantangan berat untuk MRTJ maupun pemerintah. 

Mewujudkan kesadaran untuk memulai gaya hidup sehat bersama MRT, sosialisasi mengenai sistem transportasi MRT yang terintegrasi, serta keuntungan sosial-ekonomi-lingkungan yang didapatkan masyarakat dengan beralih ke MRT adalah beberapa isu yang dapat dimanfaatkan untuk menarik calon pengguna. Dulu Batavia pernah berjaya membangun transportasi massal, sekarang 150 tahun kemudian Jakarta kembali berbenah dan kita berada pada pusaran yang bisa menentukan arah perubahan menjadi positif. Saatnya kita turut serta bekerja bersama #ubahJakarta


5 comments: