Monday 28 December 2015

Tongseng Sapi



Udah 2 minggu ini belanja mingguan di Sinpasa SMB, karena si anak lanang ketagihan beli ikan kakak tua yang -menurutnya- hanya ada di Sinpasa. Dan penyakit emak-emak kalo udah masuk pasar yag rapiiih adalah borong apapun walau nggak tau mau dimasak apa hehe. Salah satunya yang masuk kantong kresek saya minggu lalu adalah tomat ijo, perasaan jarang banget liat ada tomat ijo di pasar. Inget di kulkas masih ada sedikit daging sapi sisa bikin sop sapi minggu sebelumnya.



Akhirnya jadi juga masak tongseng sapi, resepnya nyontek dari salah satu web masak langganan: sajian sedap! Lalu untuk potret-potret, saya keluarin props foto baru, hadiah dari IDFB di challenge labu bulan November kemarin. Saya pilih hadiah pinggan keramik serbaguna bisa untuk microwave, simpen di freezer, dll. Senangnya.... ini pinggan saji pertama saya, sekarang kalo masak sayur-sayur berkuah bisa masuk situ, aman dari lalat dkk karena tutupannya rapat. Terimakasiiiiiih tim kece IDFB ^_^



Tongseng Sapi

Bahan:
400 gram daging sapi
1.000 ml air
1.500 ml santan dari 1 butir kelapa
1 cm lengkuas, dimemarkan
2 batang serai, dimemarkan
2 lembar daun salam
5 buah cabai rawit hijau, diiris-iris
3 sendok makan kecap manis
3 butir bawang merah, diiris tipis
2 sendok makan minyak untuk menumis
1 sendok teh merica bubuk
3 1/2 sendok teh garam
1 sendok makan gula pasir

Bahan Pelengkap:
5 buah tomat hijau, potong 4 bagian

1/4 buah kol, iris tipis
3 sendok makan bawang merah goreng
2 batang daun bawang, diiris halus
2 buah tomat merah, dipotong-potong

Bumbu Halus:
4 siung bawang putih
6 butir bawang merah
4 buah kemiri, disangrai
3 cm kunyit, dibakar
2 cm jahe
1 sendok teh ketumbar, disangrai


Cara membuat tongseng sapi:
  1. Rebus daging hingga empuk. Angkat daging. Potong-potong.
  2. Tumis bawang merah, bumbu halus, daun salam, lengkuas, serai, sampai harum.
  3. Masukkan bumbu ke dalam rebusan daging. Tambahkan garam, merica, gula, kecap manis, dan santan didihkan sambil diaduk sesekali agar santan tidak pecah. Masukkan daging, cabai rawit, kol, daun bawang, dan tomat.
  4. Sajikan bersama pelengkap. 
Selamat memasak :)

Saturday 19 December 2015

Resensi Novel Pulang: Menafsirkan Ulang Keberanian Untuk Pulang



Judul              : Pulang
Penulis          : Tere Liye
Penerbit         : Republika Penerbit
Cetakan         : III Oktober 2015
Halaman        : iv+400
No. ISBN       : 9786020822129

Sebuah novel yang baik akan meleburkan identitas diri pembacanya ke dalam tokoh utama lalu bersama-sama menyusuri lorong cerita untuk menemukan kepingan diri si pembaca hingga di ujungnya pembaca telah hadir kembali sebagai seseorang yang baru. Itulah yang disajikan Tere Liye dalam novel terbitan Republika Penerbit berjudul Pulang. Pembaca diajak untuk ikut meredefinisikan ketidak-kenal-takutan Bujang, sang tokoh utama, lalu pada akhirnya pembaca akan antiklimaks pada meredefinisikan ketakutan-ketakutan pembaca sendiri.
Tere Liye dikenal sebagai penulis fiksi yang produktif, sebagian besar karyanya memiliki pesan moral yang kuat didukung dengan tokoh-tokoh berkarakter khas dengan tema dan genre yang sangat beragam. Begitu juga dalam novel Pulang, meskipun tokoh utama sejak awal dikisahkan hidup dalam gelimang kekerasan lalu tumbuh besar dalam dunia kelam, tapi ada satu titik putih yang ditonjolkan dengan mencolok. Tidak ada dunia hitam-putih dalam novel ini, seperti sampul bukunya yang didominasi warna hijau [bukan hitam] dengan robekan bergambar matahari terbit, yang ada hanyalah masa lalu berisi ketakutan yang berhasil ‘dirobek’ hingga si tokoh utama bisa menatap matahari terbit dengan keberanian baru.

Kesedihan yang penuh energi 
Novel Pulang berhasil menyentuh emosi tanpa menjadi cengeng, kesedihan dan luka justru ditampilkan dalam balutan semangat. Novel bergenre action-drama ini memiliki setting tempat yang unik dan penyajian cerita maju-mundur yang menegangkan sehingga pembaca seolah-olah sedang naik mesin waktu mengikuti petualangan Bujang dari rimba di Bukit Barisan, beberapa spot utama di Ibu Kota, hingga beberapa kota besar Asia. Kekuatan novel sudah terbangun sejak pembukaan di bab I, Tere Liye dengan kuat menarik seluruh konsentrasi pembaca dari secangkir kopi-kue manis-atau berita televisi langsung menuju ke klimaks pertama hidup Bujang, sebuah pertarungan hidup mati di tengah rimba raya Bukit Barisan yang menguras habis ketakutan dan menjadikan Bujang manusia tanpa rasa takut. Siapapun akan tersedot dan dengan cepat masuk ke jalan cerita di bab selanjutnya.
Cerita berlanjut sampai konflik Mamak dan Bapak, satu pihak ingin Bujang memulai hidup baru di Kota sedangkan satu lagi sangat berat hati karena sudah tahu apa yang akan dijalani Bujang di Kota nanti.  Tapi masa lalu sudah menorehkan sejarah hari itu, Bujangpun ikut bersama rombongan pemburu yang dipimpin oleh Tauke Besar. Mereka mengembangkan berbagai bisnis ilegal yang diperkuat oleh puluhan tukang pukul. Bujang selalu bercita-cita menjadi tukang pukul nomer satu di kelompok yang menamakan dirinya keluarga Tong itu. Tapi, Bujang juga memiliki intelegensi super sehingga dia diharuskan untuk belajar agar kelak menjadi otak pengatur strategi bisnis tingkat tinggi. Maka siang malam Bujang menggembleng ilmunya bersama guru-guru terbaik: guru sekolah dari Amerika, ninja terbaik dari Jepang yang mengajari filosofi hidup samurai, dan penembak terbaik se-Asia Pasifik dari Filipina. Bujang telah tumbuh menjadi salah satu tangan kanan Tauke Besar. Bisnis mereka berkembang tak hanya bisnis pasar gelap bernilai miliaran, tapi juga menjadi salah satu penguasa shadow economy di Asia. Bagian shadow economy ini disajikan dengan menarik oleh Tere Liye, sehingga pembaca yang awam akan istilah ekonomi akan segera mengerti apa dan bagaimana hubungannya dalam jalan cerita secara utuh.
Kisah terjalin rapat antara masa lalu-masa sekarang-masa depan hingga tiba pada puncak kekuasaan Keluarga Tong. Saat itulah terjadi krisis hebat karena penghianatan dan upaya balas dendam kelompok lain. Lewat puluhan adegan pertarungan, penjelajahan, kehilangan, dan serentetan penghianatan pembaca diingatkan bahwa dalam setiap manusia ada satu titik putih yang akan mengajak manusia kembali kepada hati nurani tak peduli sekelam dan sekotor apa kehidupannya. Pada Bujang, titik putih itu adalah kesetiaan pada prinsip. Kesetiaan yang pada akhirnya menuntun Bujang untuk berdamai dengan rasa takut dan kesedihan. Bujang telah kehilangan orang-orang yang sangat disayanginya, lalu kemanakah Bujang harus pulang? 

Bertabur makna
Sebagian besar pembaca mungkin akan menyelesaikan novel ini dalam waktu 24 jam karena tiap bab selalu menyelipkan kejutan yang sayang untuk ditunda. Tapi ada beberapa hal yang dirasa cukup mengganggu, misalnya terlalu banyak “kebetulan” yang terlalu muluk dan drastis, misalnya ranjang bisa meluncur turun ke ruang bawah tanah, ujung lorong rahasia yang menuju rumah seseorang dari masa lalu Bujang, dan adegan pertarungan terakhir ketika Bujang berhasil menjadi samurai seutuhnya. Lalu pemakaian nama tempat dan tokoh yang "setengah-setengah" juga terasa mengambang, misalnya deskripsi tentang tokoh calon presiden yang gemar berkemeja putih dan sebutan "kota propinsi" dan tempat-tempat lainnya yang mengingatkan kita pada tokoh dan tempat di dunia nyata. Mungkin jika Penulis menciptakan tokoh dan nama tempat fiktif justru akan berguna untuk memperkuat karakter kisah novel secara keseluruhan. Tapi hal itu bisa dimaklumi dan bisa tertutupi dengan banyaknya hal menarik lain yang ditampilkan Tere Liye dalam novel setebal 400 halaman ini.
Sebagaimana yang telah disampaikan di awal tulisan ini, novel Pulang ini penuh pesan moral yang dikemas apik. Pesan-pesan ini menyebar hampir di semua bagian novel sebagai ucapan salah satu tokoh ataupun untaian kejadian. Salah satu keunikan novel Tere Liye adalah membuat pembaca tak tahan ingin mengutip quote yang bertebaran disana-sini. Saya mencatat beberapa kalimat yang bermakna sangat dalam, misalnya:
“Di masa-masa sulit, hanya prinsip hidup yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya” [Salonga, Hal. 187]
“Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja” [Guru Bushi, Hal. 219]
“Peluk erat dan dekaplah seluruh kebencian. Hanya itu cara agar hatimu damai. Semua pertanyaan, keraguan, kecemasan, kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu dibenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun? [Tuanku Imam, Hal. 339]
“Dulu dia berani karena yakin dengan kekuatan yang dia miliki, sekarang dia memahami bahwa tidak mengapa rasa takut itu hadir, sepanjang itu baik, dan menyadari masih ada yang memegang takdir. Dia takut – dia mengakuinya- tapi dia tidak akan lari dari kenyataan itu, melainkan akan menitipkan sisanya kepada takdir Tuhan. Dia menambatkan rasa takut itu kepada Sang Maha Memiliki. Maka serta merta dia memiliki keberanian baru, menggantikan yang lama. Dia telah menafsirkan ulang semuanya. Dia telah berhasil membangun hati baja yang baru” [Tuanku Imam, Hal. 344]
Demikianlah, saat Bujang berhasil menafsirkan ulang keberanian di Bab 21 novel ini, pada saat yang sama pembacapun telah lahir kembali menjadi manusia baru yang juga berani menafsirkan ulang keberaniannya.

Oleh: Devi MS

Monday 30 November 2015

Gegicak Labu





Jajan pasar nggak pernah hilang pesonanya, kenangan akan jajan pasar jaman kecil dulu seperti masih terasa di lidah dan selalu ingin kembali mencoba dan mencoba lagi. Selain karena rasa manis-gurih, penampilan yang ayu, bahan-bahan mudah didapat juga karena jajan pasar mayoritas gluten-free dan nggak perlu bahan tambahan macam-macam ketika dibikin [misalnya bahan pengembang, pelembut, baking soda, dll]. Jajaran jajan pasar favorit saya adalah klepon, kue ku, cenil, thiwul, onde-onde, putu mayang, putu beras, mendut, dan nagasari. Semuanya jajan pasar khas daerah Jawa, dan minggu ini saya coba jajan pasar khas Kalimantan, yaitu gegicak.



Saya dapat resepnya di salah satu buku resep keluaran Sedap: 55 resep kue tradisional nusantara. Versi aslinya, gegicak ini berwarna hijau kalem dan berbahan utama tepung ketan. Yang saya buat minggu ini versi modif, saya tambahkan labu parang dan santan. Kebetulan bulan ini lagi ada challenge berbahan labu kuning dari IDFB

Labu parang [Cucurbita Moschata] ini sebetulnya termasuk hasil tani yang gampang didapat di Indonesia dan harganya juga nggak terlalu mahal, tapi pamornya kalah jauh dengan pisang, ubi, singkong, dll. Kalo diperhatikan, jarang sekali resep jajan pasar/ kue tradisional yang memakain bahan labu parang ya.. padahal kalo dicampur ke adonan makanan warnanya bisa jadi cantik banget lo hehe. Daging buahnya berwarna orange cerah, bertekstur agak keras, dan rasanya manis. Di kampung saya di Magelang, labu parang dikenal dengan nama waluh. Waluh di sana besar-besar banget, nenek saya dulu biasanya panen satu-dua biji diambil ketika bulan puasa, lalu selama berhari-hari bisa dipastikan menu buka adalah kolak waluh yang dipotong besar-besar dan dimasak dalam kuali sampai lembeeeek banget kayak jenang hehe. Selain itu labu parang juga punya kandungan gizi yang lengkap, mulai protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, dan Vit A-B-C [sumber: disini]. Bahkan seorang mahasiswa dari UGM berhasil membuktikan bahwa labu parang efektif mengobati Diabetes mellitus tipe 2 karena bisa menurunkan kadar glukosa darah dan memperbaiki sel beta pancreas untuk menghasilkan insulin kembali.
Jadi gegicak versi saya ini warnanya bukan hijau tapi orange cerah dengan taburan kelapa dan saus gula merah yang meleleh-leleh hehe. Gegicak ini secara tampilan dan rasa mirip sekali dengan cenil dan klepon. Mungkin mereka ini saudara kembar yang tertukar lalu terpisah lautan ya :D Kalau cenil biasanya disajikan bersama teman-temannya, kalo gegicak ini tampil sendirian saja. Kalo klepon punya ‘kejutan’ gula meleleh di dalamnya, kalo gegicak justru jujur menampilkan dirinya dalam balutan kelapa parut berhiaskan saus gula merah di bagian luar. Kalo soal rasa, sama enaknyaaaaa…
Gegicak ini pasnya dimakan pagi-pagi pas weekend sambil santai atau sore-sore pas hujan sambil ngobrol dengan orang-orang kesayangan, pasti makin maknyus dan manis waktu dikunyah hehe. Yang mau coba resepnya, monggo dicek:

GEGICAK LABU

Bahan:
200 gr tepung ketan putih
100 gr labu parang, kukus lalu haluskan selagi panas
½ sdt garam
1 sdt air kapur sirih
100 ml santan encer [saya pakai 2 sdm santan instan dicampur dengan 95ml air]
1 sdm minyak goreng untuk olesan
Selembar daun pisang untuk alas mengukus

Bahan saus gula merah
200 gr gula merah, disisir
100 ml air
¼ sdt garam
1 lembar daun pandan, ikat simpul

Bahan taburan:
½ butir kelapa parut
½ sdt garam
1 lembar daun pandan, ikat

Cara membuat:
1.       Campur tepung ketan, garam, dan air kapur sirih, sisihkan.
2.       Campur labu dan santan encer, aduk sampai rata lalu tuangkan sedikit-sedikit ke campuran tepung ketan. Uleni sampai rata dan kalis [tidak menempel di tangan/ mangkok].
3.       Ambil 10 gr adonan, bulatkan, lalu tekan bagian tengahnya dengan jari.
4.       Letakkan diatas kukusan yang sudah dialasi daun pisang beroleskan minyak goring. Kukus 10 menit, sisihkan.
5.       Saus gula merah: rebus semua bahan, aduk hingga larut dan mendidih/ agak kental. Saring, sisihkan.
6.       Taburan: kukus semua bahan sekitar 10 menit, angkat, sisihkan.
7.       Sajikan gegicak bersama saus gula merah dan taburan kelapa parut.
Catatan:
-          Waktu menguleni adonan tepung, jangan terlalu lembek. Kalau terlalu lembek nanti adonan susah dibentuk dan lengket banget pas dikukus. Jadi takaran air/ santan bisa ditambah-kurangi sendiri ya.
-          Waktu menaruh adonan di kukusan, jangan terlalu dekat, nanti kalo  dikukus akan mengembang dan berdempetan, susah diambilin. Kalopun bisa, bentuknya jadi nggak cantik hehe

Selamat masak dan selamat makan :)
Salam,
Devi BundaKimi