Coba kita ingat, apakah makan malam
kita kemarin habis atau menyisakan beberapa sendok nasi dan lauk? Adakah bayam layu atau mangga berjamur yang kita buang karena lupa memakannya? Jika
setiap orang menyisakan satu butir nasi setiap hari, dengan jumlah penduduk di
Indonesia sekitar 250 juta jiwa. Maka dalam sehari sekali makan, akan terdapat
250 juta butir nasi yang sudah terbuang sia-sia. Sedangkan tiap 1 gram beras
berisi 50 butir beras. Jika dikonversikan kedalam Kg (kilo gram), maka 250 juta
butir nasi sama dengan 5.000 Kg atau sekitar 5 ton yang akhirnya akan dibuang
setiap hari dalam satu kali makan. [sumber].
Di seluruh dunia, 1,3 miliar ton makanan tidak pernah dikonsumsi. Data dari FAO
menunjukkan bahwa buah dan sayuran dunia hanya 47% yang benar-benar dikonsumsi,
sisanya 53% hilang atau tersia-siakan selama proses pemilahan selama panen,
distribusi dan penjualan, atau dibuang saat sudah diolah dalam rumah tangga.
[sumber].
Hal yang sama juga berlaku untuk barang-barang lainnya seperti pakaian, buku, mainan,
sepatu, perlalatan rumah tangga. Makanan dan benda-benda itu dibuang oleh
pemiliknya dan akan berakhir menjadi sampah. Lebih buruk lagi, sampah -terutama
sampah organik- juga menyumbang terbentuknya gas etana dan karbondioksida yang
berbahaya bahkan bisa mempengaruhi perubahan iklim [sumber].
Ada banyak alasan
kenapa orang membuang makanan atau benda-benda yang sebenarnya masih layak
pakai dan alasan ini berbeda-beda dalam tiap kelompok masyarakat sehingga harus
benar-benar dicari alasan yang tepat sebelum mencari solusi untuk mengurangi
jumlah makanan yang terbuang. Sebagian petani di negara maju terpaksa membuang
hasil panen hanya karena bentuknya buruk atau kecil dan tergores sehingga tak
memenuhi standar penjualan di pasar setempat. Di daerah kita, sebagian orang
mungkin membuang benda-benda tak terpakai karena bingung dan tak menemukan
orang yang cocok diberikan hibah barang-barang tersebut karena hidup di
lingkungan yang berkecukupan, biasanya ada rasa segan takut menyinggung
perasaan orang yang ingin kita sumbang. Ada juga yang tak punya waktu untuk
mengantarnya, atau merasa barangnya sudah benar-benar buruk, atau merasa bosan,
dan lain sebagainya.
Padahal
di beberapa tempat, masih banyak orang yang kekurangan makanan dan membutuhkan
benda-benda yang mungkin akan dibuang oleh kelompok orang lainnya. Data PBB
pada tahun 2010 sampai 2012 menyebutkan bahwa jumlah penderita kelaparan
didunia mencapai 868 juta orang atau 12,5% dari jumlah populasi dunia.
Sedangkan di daerah Afrika badan PBB pada tahun 2013 tercatat sebanyak 11,3 juta
orang dilaporkan menderita kekurangan pangan di benua Afrika [sumber]. Limbah makanan di negara kaya (220 juta ton) setara dengan makanan yang
diproduksi di Sub-Sahara Afrika (230 juta ton) [sumber].
Setiap orang punya
peluang untuk berkontribusi mengurangi makanan yang terbuang dari rumahnya,
misalnya dengan perencanaan belanja, hanya membeli barang-barang yang memang
diperlukan, menyimpan bahan makanan dengan baik, membawa pulang sisa makanan yang
tak habis dimakan di restoran, dan menjadwalkan hari khusus untuk menghabiskan
sisa makanan. Pemerintah sebagai regulator juga harus menyiapkan peraturan yang
matang mengenai distribusi makanan, termasuk mengatur supermarket atau restoran
yang berpeluang menghasilkan sampah makanan paling banyak. Itu adalah usaha preventif
pertama yang dapat kita lakukan.
Solusi kedua adalah
pengembangan teknologi berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan
ketika sampah terlanjur menumpuk. Apakah akan dibiarkan begitu saja menjadi
sampah? Ternyata limbah makanan dapat
dimanfaatkan untuk pembangkit listrik bio-tanaman [sumber]
sebagaimana yang telah dilakukan jaringan supermarket di Inggris, yaitu Waitrose
yang ingin mendapatkan status “zero
landfill”. Contoh lain adalah sistem pengolahan limbah makanan yang
dilakukan di Rio de Janeiro oleh hotel mewah bernama Copacabana Palace. Awalnya
mereka membuang ribuan liter minyak dan bahan makanan sisa lainnya, lalu pada
tahun 2008 mencoba ide baru mendaur ulang sisa makanan menjadi pupuk ramah
lingkungan. Kegiatan ini bisa mengurangi 80% sampah yang harus dibuang dan
sekaligus menguntungkan secara ekonomi. [sumber]
Solusi ketiga, kita memerlukan
sebuah jembatan yang akan mengelola dan menyalurkan makanan atau barang yang tak terpakai kepada
mereka yang akan menerimanya sebagai berkah. Oke, kalau jembatan terlalu megah,
maka kita hanya perlu sebuah kotak yang bisa mengantarkan makanan dan
benda-benda itu kepada orang yang memerlukannya. Kotak itu bisa berbentuk
sebuah komunitas dengan sistem terpadu yang bisa menjalankan beberapa fungsi
sekaligus:
1. Menyalurkan barang-barang
dari kelompok orang yang berlebih kepada kelompok yang kekurangan dalam satu
daerah tertentu, misalnya dari 2 kota kecamatan yang bersebelahan.
2. Meminimalisir sampah
karena memanfaatkan ulang benda-benda bekas
3. Membantu kelompok
orang yang kekurangan agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya
4. Gerakan sosial yang
memperkuat ikatan dalam masyarakat dan merasa saling terlibat [guyub rukun]
Penerapannya bisa lebih
mudah dengan mengandalkan kemajuan teknologi, yaitu dengan adanya aplikasi smartphone yang
mudah dipakai dan diakses oleh para penyedia yang ingin menyumbangkan makanan atau
benda-benda lainnya. Sistem terpadu berbasis pada pemetaan penyedia [orang yang
ingin menyumbang] dan pengguna [orang yang mau menerima sumbangan], yaitu lokasi
mana saja yang termasuk kelompok masyarakat yang kekurangan [termasuk jenis benda
apa saja yang diperlukan] dan lokasi mana saja yang termasuk kelompok
masyarakat yang banyak menyalurkan benda-benda tak terpakai [termasuk jenis benda
apa yang ingin disumbangkan]. Dengan adanya pemetaan semacam ini, proses
penyaluran dan distribusi barang menjadi lebih efisien. Penerapan yang paling mudah
dapat berupa box-box sumbangan yang diletakkan di tempat-tempat ramai. Jika selama
ini kita hanya mengenal kotak sumbangan yang dikhususkan untuk menerima uang,
maka ide kotak sumbangan yang dapat menerima barang-barang bekas atau bahkan
makanan patut dipertimbangkan. Barang-barang yang dapat ditampung antara lain pakaian, sepatu, buku, peralatan rumah tangga, makanan kemasan, seragam sekolah, mainan, dan peralatan lainnya. Penempatan box sumbangan seperti ini konon
katanya sudah diterapkan di beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Inggris. Di
Singapura, ada juga food bank yang menampung dan menyalurkan berbagai bentuk
makanan sisa [bukan sampah makanan, tapi sisa makanan yang belum dimakan atau
belum diolah] lalu didonasikan secara gratis atau dijual dengan harga sangat
murah.
Dengan adanya komunitas
semacam ini, ribuan orang bisa ikut berpartisipasi menyumbangkan makanan atau
benda lain yang diperlukan oleh ribuan orang lainnya. Jika seribu orang bersama-sama
memberikan kontribusi kecil, maka itu akan bermakna sangat besar bagi
lingkungan dan masyarakat.
** Tulisan ini diikutsertakan dalam Imajinesia “Inspirasi Indonesia” Blog & Quote Competition yang diselenggarakan oleh TMIIN Indonesia
No comments:
Post a Comment