Thursday, 25 August 2016

Cerita dan Rasa Dapur Nusantara






Travelling kemana weekend besok? Travelling atau berwisata telah bergeser menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia. Data Kementrian Pariwisata menyebutkan pada akhir tahun 2015, jumlah perjalanan wisatawan nusantara mencapai 208 juta perjalanan. Semua orang berlomba menjelajahi tempat baru, mengeksplorasi keindahan yang belum terjamah, mengunggahnya ke media sosial untuk mengabarkan keindahan Indonesia ke seluruh dunia, dan tentu saja tak lupa menikmati kelezatan kuliner khas nusantara. Sejak kita akrab dengan frasa “wisata kuliner” maka mencicipi kuliner khas nusantara menjadi hal wajib dalam setiap daftar perjalanan yang kita rencanakan. Saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan kuliner khas dari daerah yang kita kunjungi karena di dunia maya bertebaran situs yang menyajikan daftar kuliner khas lengkap dengan deskripsi citarasa, alamat penjual, dan kisaran harganya. Tak heran, banyak warung kuliner khas nusantara yang memanen antrian panjang pembeli meskipun tempatnya kecil dan terpencil.




Indonesia memiliki keragaman kuliner yang mengagumkan. Tak ada satu masakan yang bisa mewakili kuliner nusantara, tapi ada jenis masakan yang dikenal baik di banyak daerah, misalnya tumpeng. Maka tumpeng dianggap sebagai ikon kuliner yang bisa menceritakan keragaman kuliner nusantara. Kelezatan kuliner nusantara tak hanya diakui oleh bangsa kita sendiri, beberapa diantaranya telah memperoleh penghargaan sebagai makanan terlezat di dunia, misalnya rendang, gado-gado, soto, dan sate. Jadi, kalau dulu kita merasa bergengsi ketika menyantap makanan luar yang bahkan namanyapun sulit kita eja, sekarang saatnya kita bangga menyantap masakan nusantara. Selain menikmati kelezatannya, kita juga ikut serta melestarikan kekayaan kuliner bangsa ini :)

Bagi sebagian orang, menikmati kuliner mungkin akan berhenti sampai pada kesimpulan enak atau tidak enak menurut seleranya sendiri. Tapi bagi sebagian yang lain, mencicipi sajian kuliner khas daerah bisa menjadi sebuah petualangan yang sangat seru. Misalnya dari semangkok kari kambing Aceh [karee kameng], selain mengunyah potongan daging kambing berbalut kuah kaya rempah, kita juga bisa “mengunyah” kisah tentang keragaman nenek moyang orang Aceh yang mempengaruhi pemakaian bumbu-bumbu India dan Arab, juga “mengunyah” kisah tentang kejayaan kerajaan Aceh Darussalam dengan pelabuhan legendaris yang menjadi pusat perdagangan rempah. Karee kameng biasanya dihidangkan untuk menyambut tamu penting dan dimasak secara bergotong royong. Kaum lelaki bertugas memotong kambing dan mengaduknya saat dimasak sedangkan kaum wanita menyiapkan dan meracik bumbu segar. Hasilnya? Daging kambing dengan kuah kari kaya rempah dan harum daun temurui yang kelezatannya membuat siapapun tak ingin beranjak dari meja.

 
Saya belum pernah berkunjung ke Aceh dan mencicipi karee kameng, tapi ada satu kuliner Aceh yang menarik: ayam tangkap atau ayam tsunami. Konon katanya kuliner khas ini baru populer setelah tsunami Aceh pada tahun 2004. Olahan ayam yang dilumuri bumbu dan digoreng bersama daun pandan, daun salam koja, dan daun-daunan lainnya sehingga berkesan ‘berantakan’ seperti baru saja terhempas tsunami. Rasanya? Sangat kaya dan meresap sampai ke dada hahaha..



Jika Aceh terkenal dengan masakan kaya rempah, maka Jawa Tengah dan Jogja terkenal dengan kuliner bercitarasa manis-gurih. Ini ternyata ada juga ceritanya. Dulu kala jaman penjajahan, Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan tanam paksa untuk memenuhi kas Belanda yang bangkrut. Dalam tanam paksa ini, petani dipaksa menanam tebu dan tak boleh menanam padi karena tebu lebih menguntungkan untuk komoditi ekspor. Seratus pabrik gula dibangun saat rakyat kekurangan beras, maka sisa-sisa air tebu lalu digunakan untuk pengganti karbohidrat yang langka. Banyaknya pasokan gula ini rupanya mempengaruhi perkembangan kuliner, hingga saat ini di daerah Jawa Tengah dan Jogja banyak makanan yang didominasi rasa manis, sebutlah gudeg, krasikan, wajik,  bacem, dll. 



Berpindah ke Maluku, kita akan disuguhi kelezatan olahan ikan, misalnya boboto cakalang [semacam botok ikan] dan gohu ikan [rujak ikan mentah]. Uniknya, meskipun Maluku merupakan daerah yang kaya rempah-rempah dan telah diperebutkan sejak ratusan tahun lalu, tapi kuliner Maluku sangat minimalis, tidak menggunakan banyak rempah. Mereka banyak mengandalkan kesegaran hasil laut yang melimpah karena bentang alam Maluku memang didominasi pantai dan lautan. 

Tak banyak daerah yang pernah saya kunjungi, apalagi jika dibandingkan para travel blogger yang tiap minggu berpetualang. Tapi, saya punya mimpi bisa berkeliling Indonesia menikmati kuliner khas daerah, menyesap kelezatannya sambil menyimak kisah-kisah hebat dibaliknya. Salah satu daerah yang ingin saya kunjungi adalah Aceh dan Sumatra Utara, keindahan alam dan kekayaan kulinernya sungguh memukau. Sambil nabung, bolehlah kita cek dulu harga tiket pesawat biar bisa merencanakan liburan dengan matang. Untuk ke Aceh, bisa pakai lion air, batik air, city link dengan pilihan jam mulai jam 5 pagi sampai jam 9 malam. Kalau mau cari tiket murah, ada tips bagus nih dari youtube airpaz:


Dalam setiap perjalanan, kita menikmati keindahan alam, kita menikmati kelezatan masakan, kita menikmati keakraban bersama teman. Dalam setiap perjalanan, ada pelajaran. Pelajaran untuk ikut mencintai dan merawat kekayaan alam Indonesia, keragaman kulinernya, dan keunikan budayanya.




Referensi bacaan:
1. 100 makanan tradisional Indonesia mak nyus, Bondan Winarno, 2013
2. Koran Tempo edisi Desember 2014, Antropologi Kuliner Nusantara

1 comment:

  1. Tulisan menarik, terima kasih atas partisipasinya dalam lomba blog Airpaz. Semoga menang dapat tiket pesawat gratis dari Airpaz ya :)

    ReplyDelete