Saturday, 19 December 2015

Resensi Novel Pulang: Menafsirkan Ulang Keberanian Untuk Pulang



Judul              : Pulang
Penulis          : Tere Liye
Penerbit         : Republika Penerbit
Cetakan         : III Oktober 2015
Halaman        : iv+400
No. ISBN       : 9786020822129

Sebuah novel yang baik akan meleburkan identitas diri pembacanya ke dalam tokoh utama lalu bersama-sama menyusuri lorong cerita untuk menemukan kepingan diri si pembaca hingga di ujungnya pembaca telah hadir kembali sebagai seseorang yang baru. Itulah yang disajikan Tere Liye dalam novel terbitan Republika Penerbit berjudul Pulang. Pembaca diajak untuk ikut meredefinisikan ketidak-kenal-takutan Bujang, sang tokoh utama, lalu pada akhirnya pembaca akan antiklimaks pada meredefinisikan ketakutan-ketakutan pembaca sendiri.
Tere Liye dikenal sebagai penulis fiksi yang produktif, sebagian besar karyanya memiliki pesan moral yang kuat didukung dengan tokoh-tokoh berkarakter khas dengan tema dan genre yang sangat beragam. Begitu juga dalam novel Pulang, meskipun tokoh utama sejak awal dikisahkan hidup dalam gelimang kekerasan lalu tumbuh besar dalam dunia kelam, tapi ada satu titik putih yang ditonjolkan dengan mencolok. Tidak ada dunia hitam-putih dalam novel ini, seperti sampul bukunya yang didominasi warna hijau [bukan hitam] dengan robekan bergambar matahari terbit, yang ada hanyalah masa lalu berisi ketakutan yang berhasil ‘dirobek’ hingga si tokoh utama bisa menatap matahari terbit dengan keberanian baru.

Kesedihan yang penuh energi 
Novel Pulang berhasil menyentuh emosi tanpa menjadi cengeng, kesedihan dan luka justru ditampilkan dalam balutan semangat. Novel bergenre action-drama ini memiliki setting tempat yang unik dan penyajian cerita maju-mundur yang menegangkan sehingga pembaca seolah-olah sedang naik mesin waktu mengikuti petualangan Bujang dari rimba di Bukit Barisan, beberapa spot utama di Ibu Kota, hingga beberapa kota besar Asia. Kekuatan novel sudah terbangun sejak pembukaan di bab I, Tere Liye dengan kuat menarik seluruh konsentrasi pembaca dari secangkir kopi-kue manis-atau berita televisi langsung menuju ke klimaks pertama hidup Bujang, sebuah pertarungan hidup mati di tengah rimba raya Bukit Barisan yang menguras habis ketakutan dan menjadikan Bujang manusia tanpa rasa takut. Siapapun akan tersedot dan dengan cepat masuk ke jalan cerita di bab selanjutnya.
Cerita berlanjut sampai konflik Mamak dan Bapak, satu pihak ingin Bujang memulai hidup baru di Kota sedangkan satu lagi sangat berat hati karena sudah tahu apa yang akan dijalani Bujang di Kota nanti.  Tapi masa lalu sudah menorehkan sejarah hari itu, Bujangpun ikut bersama rombongan pemburu yang dipimpin oleh Tauke Besar. Mereka mengembangkan berbagai bisnis ilegal yang diperkuat oleh puluhan tukang pukul. Bujang selalu bercita-cita menjadi tukang pukul nomer satu di kelompok yang menamakan dirinya keluarga Tong itu. Tapi, Bujang juga memiliki intelegensi super sehingga dia diharuskan untuk belajar agar kelak menjadi otak pengatur strategi bisnis tingkat tinggi. Maka siang malam Bujang menggembleng ilmunya bersama guru-guru terbaik: guru sekolah dari Amerika, ninja terbaik dari Jepang yang mengajari filosofi hidup samurai, dan penembak terbaik se-Asia Pasifik dari Filipina. Bujang telah tumbuh menjadi salah satu tangan kanan Tauke Besar. Bisnis mereka berkembang tak hanya bisnis pasar gelap bernilai miliaran, tapi juga menjadi salah satu penguasa shadow economy di Asia. Bagian shadow economy ini disajikan dengan menarik oleh Tere Liye, sehingga pembaca yang awam akan istilah ekonomi akan segera mengerti apa dan bagaimana hubungannya dalam jalan cerita secara utuh.
Kisah terjalin rapat antara masa lalu-masa sekarang-masa depan hingga tiba pada puncak kekuasaan Keluarga Tong. Saat itulah terjadi krisis hebat karena penghianatan dan upaya balas dendam kelompok lain. Lewat puluhan adegan pertarungan, penjelajahan, kehilangan, dan serentetan penghianatan pembaca diingatkan bahwa dalam setiap manusia ada satu titik putih yang akan mengajak manusia kembali kepada hati nurani tak peduli sekelam dan sekotor apa kehidupannya. Pada Bujang, titik putih itu adalah kesetiaan pada prinsip. Kesetiaan yang pada akhirnya menuntun Bujang untuk berdamai dengan rasa takut dan kesedihan. Bujang telah kehilangan orang-orang yang sangat disayanginya, lalu kemanakah Bujang harus pulang? 

Bertabur makna
Sebagian besar pembaca mungkin akan menyelesaikan novel ini dalam waktu 24 jam karena tiap bab selalu menyelipkan kejutan yang sayang untuk ditunda. Tapi ada beberapa hal yang dirasa cukup mengganggu, misalnya terlalu banyak “kebetulan” yang terlalu muluk dan drastis, misalnya ranjang bisa meluncur turun ke ruang bawah tanah, ujung lorong rahasia yang menuju rumah seseorang dari masa lalu Bujang, dan adegan pertarungan terakhir ketika Bujang berhasil menjadi samurai seutuhnya. Lalu pemakaian nama tempat dan tokoh yang "setengah-setengah" juga terasa mengambang, misalnya deskripsi tentang tokoh calon presiden yang gemar berkemeja putih dan sebutan "kota propinsi" dan tempat-tempat lainnya yang mengingatkan kita pada tokoh dan tempat di dunia nyata. Mungkin jika Penulis menciptakan tokoh dan nama tempat fiktif justru akan berguna untuk memperkuat karakter kisah novel secara keseluruhan. Tapi hal itu bisa dimaklumi dan bisa tertutupi dengan banyaknya hal menarik lain yang ditampilkan Tere Liye dalam novel setebal 400 halaman ini.
Sebagaimana yang telah disampaikan di awal tulisan ini, novel Pulang ini penuh pesan moral yang dikemas apik. Pesan-pesan ini menyebar hampir di semua bagian novel sebagai ucapan salah satu tokoh ataupun untaian kejadian. Salah satu keunikan novel Tere Liye adalah membuat pembaca tak tahan ingin mengutip quote yang bertebaran disana-sini. Saya mencatat beberapa kalimat yang bermakna sangat dalam, misalnya:
“Di masa-masa sulit, hanya prinsip hidup yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya” [Salonga, Hal. 187]
“Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu, maka pertempuran lainnya akan mudah saja” [Guru Bushi, Hal. 219]
“Peluk erat dan dekaplah seluruh kebencian. Hanya itu cara agar hatimu damai. Semua pertanyaan, keraguan, kecemasan, kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu dibenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun? [Tuanku Imam, Hal. 339]
“Dulu dia berani karena yakin dengan kekuatan yang dia miliki, sekarang dia memahami bahwa tidak mengapa rasa takut itu hadir, sepanjang itu baik, dan menyadari masih ada yang memegang takdir. Dia takut – dia mengakuinya- tapi dia tidak akan lari dari kenyataan itu, melainkan akan menitipkan sisanya kepada takdir Tuhan. Dia menambatkan rasa takut itu kepada Sang Maha Memiliki. Maka serta merta dia memiliki keberanian baru, menggantikan yang lama. Dia telah menafsirkan ulang semuanya. Dia telah berhasil membangun hati baja yang baru” [Tuanku Imam, Hal. 344]
Demikianlah, saat Bujang berhasil menafsirkan ulang keberanian di Bab 21 novel ini, pada saat yang sama pembacapun telah lahir kembali menjadi manusia baru yang juga berani menafsirkan ulang keberaniannya.

Oleh: Devi MS

No comments:

Post a Comment