Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : III Oktober 2015
Halaman : iv+400
No. ISBN : 9786020822129
Sebuah novel yang baik akan
meleburkan identitas diri pembacanya ke dalam tokoh utama lalu bersama-sama
menyusuri lorong cerita untuk menemukan kepingan diri si pembaca hingga di
ujungnya pembaca telah hadir kembali sebagai seseorang yang baru. Itulah yang
disajikan Tere Liye dalam novel terbitan Republika
Penerbit berjudul Pulang. Pembaca diajak untuk ikut meredefinisikan
ketidak-kenal-takutan Bujang, sang tokoh utama, lalu pada akhirnya pembaca akan
antiklimaks pada meredefinisikan ketakutan-ketakutan pembaca sendiri.
Tere Liye dikenal sebagai
penulis fiksi yang produktif, sebagian besar karyanya memiliki pesan moral yang
kuat didukung dengan tokoh-tokoh berkarakter khas dengan tema dan genre yang
sangat beragam. Begitu juga dalam novel Pulang, meskipun tokoh utama sejak awal
dikisahkan hidup dalam gelimang kekerasan lalu tumbuh besar dalam dunia kelam,
tapi ada satu titik putih yang ditonjolkan dengan mencolok. Tidak ada dunia
hitam-putih dalam novel ini, seperti sampul bukunya yang didominasi warna hijau
[bukan hitam] dengan robekan bergambar matahari terbit, yang ada hanyalah masa
lalu berisi ketakutan yang berhasil ‘dirobek’ hingga si tokoh utama bisa
menatap matahari terbit dengan keberanian baru.
Kesedihan yang penuh
energi
Novel Pulang berhasil
menyentuh emosi tanpa menjadi cengeng, kesedihan dan luka justru ditampilkan
dalam balutan semangat. Novel bergenre action-drama ini
memiliki setting
tempat yang unik dan penyajian cerita maju-mundur yang menegangkan sehingga
pembaca seolah-olah sedang naik mesin waktu mengikuti petualangan Bujang dari
rimba di Bukit Barisan, beberapa spot utama di Ibu Kota, hingga beberapa kota
besar Asia. Kekuatan novel sudah terbangun sejak pembukaan di bab I, Tere Liye
dengan kuat menarik seluruh konsentrasi pembaca dari secangkir kopi-kue
manis-atau berita televisi langsung menuju ke klimaks pertama hidup Bujang,
sebuah pertarungan hidup mati di tengah rimba raya Bukit Barisan yang menguras
habis ketakutan dan menjadikan Bujang manusia tanpa rasa takut. Siapapun akan
tersedot dan dengan cepat masuk ke jalan cerita di bab selanjutnya.
Cerita berlanjut sampai
konflik Mamak dan Bapak, satu pihak ingin Bujang memulai hidup baru di Kota
sedangkan satu lagi sangat berat hati karena sudah tahu apa yang akan dijalani
Bujang di Kota nanti. Tapi masa lalu sudah menorehkan sejarah hari itu,
Bujangpun ikut bersama rombongan pemburu yang dipimpin oleh Tauke Besar. Mereka
mengembangkan berbagai bisnis ilegal yang diperkuat oleh puluhan tukang pukul.
Bujang selalu bercita-cita menjadi tukang pukul nomer satu di kelompok yang
menamakan dirinya keluarga Tong itu. Tapi, Bujang juga memiliki intelegensi
super sehingga dia diharuskan untuk belajar agar kelak menjadi otak pengatur
strategi bisnis tingkat tinggi. Maka siang malam Bujang menggembleng ilmunya
bersama guru-guru terbaik: guru sekolah dari Amerika, ninja terbaik dari Jepang
yang mengajari filosofi hidup samurai, dan penembak terbaik se-Asia Pasifik
dari Filipina. Bujang telah tumbuh menjadi salah satu tangan kanan Tauke Besar.
Bisnis mereka berkembang tak hanya bisnis pasar gelap bernilai miliaran, tapi
juga menjadi salah satu penguasa shadow economy di
Asia. Bagian shadow
economy ini disajikan dengan menarik oleh Tere Liye, sehingga pembaca yang
awam akan istilah ekonomi akan segera mengerti apa dan bagaimana hubungannya
dalam jalan cerita secara utuh.
Kisah terjalin rapat antara
masa lalu-masa sekarang-masa depan hingga tiba pada puncak kekuasaan Keluarga
Tong. Saat itulah terjadi krisis hebat karena penghianatan dan upaya balas
dendam kelompok lain. Lewat puluhan adegan pertarungan, penjelajahan, kehilangan,
dan serentetan penghianatan pembaca diingatkan bahwa dalam setiap manusia ada
satu titik putih yang akan mengajak manusia kembali kepada hati nurani tak
peduli sekelam dan sekotor apa kehidupannya. Pada Bujang, titik putih itu
adalah kesetiaan pada prinsip. Kesetiaan yang pada akhirnya menuntun Bujang
untuk berdamai dengan rasa takut dan kesedihan. Bujang telah kehilangan
orang-orang yang sangat disayanginya, lalu kemanakah Bujang harus pulang?
Bertabur makna
Sebagian besar pembaca mungkin
akan menyelesaikan novel ini dalam waktu 24 jam karena tiap bab selalu
menyelipkan kejutan yang sayang untuk ditunda. Tapi ada beberapa hal yang
dirasa cukup mengganggu, misalnya terlalu banyak “kebetulan” yang terlalu
muluk dan drastis, misalnya ranjang bisa meluncur turun ke ruang bawah tanah, ujung lorong
rahasia yang menuju rumah seseorang dari masa lalu Bujang, dan adegan
pertarungan terakhir ketika Bujang berhasil menjadi samurai seutuhnya. Lalu pemakaian nama tempat dan tokoh yang "setengah-setengah" juga terasa mengambang, misalnya deskripsi tentang tokoh calon presiden yang gemar berkemeja putih dan sebutan "kota propinsi" dan tempat-tempat lainnya yang mengingatkan kita pada tokoh dan tempat di dunia nyata. Mungkin jika Penulis menciptakan tokoh dan nama tempat fiktif justru akan berguna untuk memperkuat karakter kisah novel secara keseluruhan. Tapi hal
itu bisa dimaklumi dan bisa tertutupi dengan banyaknya hal menarik lain yang
ditampilkan Tere Liye dalam novel setebal 400 halaman ini.
Sebagaimana yang telah
disampaikan di awal tulisan ini, novel Pulang ini penuh pesan moral yang
dikemas apik. Pesan-pesan ini menyebar hampir di semua bagian novel sebagai
ucapan salah satu tokoh ataupun untaian kejadian. Salah satu keunikan novel
Tere Liye adalah membuat pembaca tak tahan ingin mengutip quote yang
bertebaran disana-sini. Saya mencatat beberapa kalimat yang bermakna sangat
dalam, misalnya:
“Di masa-masa sulit, hanya
prinsip hidup yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya”
[Salonga, Hal. 187]
“Sejatinya, dalam hidup ini
kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak
perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi.
Rasa takut. Pertanyaan. Keraguan. Sekali kau bisa menang dalam pertempuran itu,
maka pertempuran lainnya akan mudah saja” [Guru Bushi, Hal. 219]
“Peluk erat dan dekaplah
seluruh kebencian. Hanya itu cara agar hatimu damai. Semua pertanyaan, keraguan,
kecemasan, kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali,
tidak perlu dibenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang
indah meski di hari terburuk sekalipun? [Tuanku Imam, Hal. 339]
“Dulu dia berani karena yakin
dengan kekuatan yang dia miliki, sekarang dia memahami bahwa tidak mengapa rasa
takut itu hadir, sepanjang itu baik, dan menyadari masih ada yang memegang
takdir. Dia takut – dia mengakuinya- tapi dia tidak akan lari dari kenyataan
itu, melainkan akan menitipkan sisanya kepada takdir Tuhan. Dia menambatkan
rasa takut itu kepada Sang Maha Memiliki. Maka serta merta dia memiliki
keberanian baru, menggantikan yang lama. Dia telah menafsirkan ulang semuanya.
Dia telah berhasil membangun hati baja yang baru” [Tuanku Imam, Hal. 344]
Demikianlah, saat Bujang
berhasil menafsirkan ulang keberanian di Bab 21 novel ini, pada saat yang sama
pembacapun telah lahir kembali menjadi manusia baru yang juga berani
menafsirkan ulang keberaniannya.
Oleh: Devi MS
No comments:
Post a Comment