Monday, 10 October 2016

#BatikIndonesia, eksplorasi filosofi budaya lokal dalam dunia global




Jika ada yang bertanya apa saja hal yang identik dengan Jogja, maka dapat dipastikan batik menjadi salah satu jawabanya, selain gudeg, Malioboro, dan Keraton. Selain dikenal sebagai kota pelajar dan kota perjuangan, Jogja memang telah diakui sebagai salah satu pusat seni budaya dan sentra batik di Indonesia. Dan kita patut berbangga, ternyata batik jogja tak hanya diakui oleh masyarakat Indonesia namun juga masyarakat Internasional, terbukti pada tahun 2014 Jogjakarta ditetapkan sebagai World Batik City oleh Dewan Kerajinan Dunia (World Craft Council atau WCC). Hal ini menguatkan pengakuan UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009 yang mengukuhkan secara resmi bahwa batik Indonesia adalah budaya non-benda warisan kemanusiaan [Intangible Cultural Heritage of Humanity]. 

Batik tak hanya dikenal di Indonesia tapi juga di beberapa negara tetangga, namun Batik Indonesia istimewa karena merepresentasikan nilai sejarah dan sosial yang panjang, proses pembuatan yang unik dengan canting dan malam, serta menggambarkan filosofi luhur bangsa Indonesia. Setiap motif batik mempunyai nilai sosial-filosofis luhur yang dianut oleh masyarakat. Di beberapa daerah di Indonesia, batik sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari, mulai kelahiran, pernikahan, kehamilan, hingga meninggal dunia, kain batik selalu hadir mengiringi upacara-upacara kehidupan. Misalnya batik motif Sidoasih yang memiliki filosofi cinta dan welas asih lazim digunakan pada saat pernikahan yang mengandung do’a agar kedua mempelai saling mengasihi dan berbahagia. 

Batik sido asih digunakan dalam rangkaian upcara pernikahan [sumber]

Di Jogja pada masa lalu, ada beberapa motif batik yang bersifat eksklusif hanya dapat dikenakan oleh kerabat keraton saja, dilarang dipakai oleh orang kebanyakan. Contoh batik Keraton atau ragam hias larangan adalah motif parang yang menggambarkan ketajaman berpikir, keberanian, dan kepemimpinan [sumber].

Beberapa motif batik hanya boleh digunakan oleh keluarga Keraton Yogyakarta [sumber]

 Batik juga menggambarkan keanekaragaman budaya Indonesia dengan akulturasi harmonis budaya dari Tiongkok, India, dan Eropa. Hal ini tergambar pada batik di daerah pesisir yang menggunakan warna merah, hijau, biru dan warna terang lainnya. Sementara itu di Jogja, setiap kota/ Kabupaten memiliki batik khasnya masing-masing, misalnya batik motif Gringsing dan Geblek renteng dari Kulonprogo, motif Galaran dari Bantul, motif Parijotho dan salak pondoh dari Sleman, serta  motif tancep dan walang jati kencono dari Gunung kidul [sumber]. Motif batik khas tersebut menggambarkan kehidupan sosial budaya daerah asalnya, misalnya Daerah Sleman yang merupakan daerah penghasil salak pondoh memiliki batik motif salak pondoh dan daerah Kulon Progo yang memiliki makanan khas geblek mengilhami penciptaan motif batik geblek renteng.

Batik merepresentasikan kekayaan sosial-budaya [sumber salak, geblek, batik salak, batik geblek renteng]


Memang sudah sewajarnya dunia mengapresiasi batik Indonesia karena batik merupakan salah satu hasil budaya yang berhasil bertahan selama ratusan tahun, diwariskan dari generasi ke generasi, unik dan original, konsisten, memiliki nilai sejarah dan filosofis, serta bernilai ekonomi tinggi. Tak bisa dipungkiri bahwa pelestarian seni budaya seringkali terbentur pada masalah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, jika suatu hal dianggap tak menguntungkan secara ekonomi maka cepat atau lambat akan mulai ditinggalkan dan lama kelamaan akan punah. Batik Jogja termasuk salah satu produk seni budaya yang berhasil bertahan dari gempuran jaman, ini tak lepas dari upaya berbagai pihak terkait yang secara terus menerus mengenalkan batik pada masyarakat. Sungguh benar kata orang bijak, tak kenal maka tak sayang, batik tak akan kita sayang [dan kita pertahankan] jika kita tak mengenalnya. Relakah kita jika batik punah tergerus roda jaman dan modernitas?

Batik Jogja masih menjadi salah satu primadona cinderamata dari Jogja yang dibawa pulang oleh jutaan wisatawan ke daerah asal mereka masing-masing. Pada tahun 2014, Jogja dikunjungi oleh 3.346.180 wisatawan mancanegara dan domestik, angka ini naik sebesar 17,91% dibanding tahun sebelumnya [sumber]. Jumlah wisatawan dari seluruh penjuru dunia yang mengunjungi jogja memang selalu meningkat dari tahun ke tahun dan ini merupakan potensi besar untuk upaya pengenalan batik Jogja kepada masyarakat internasional. Pemerintah daerah bisa menjalin kerjasama dengan pihak pengelola bandara, pelaku usaha perhotelan, travel agent, dan pengelola tempat destinasi wisata untuk memperluas pengenalan batik. Misalnya kesepakatan penggunaan kain batik untuk dekorasi ruangan, souvenir, serta penyebaran informasi tertulis mengenai batik.

Permasalahan yang dihadapi industri batik 
 
Secara umum, jumlah industri batik dan omset penjualan batik di Jogja terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, tapi itu bukan berarti industri batik tak mengalami permasalahan serius. Kepala Seksi Sandang dan Kulit Disperindagkop DIY menyebutkan jumlah industri batik di Jogja pada tahun 2015 mencapai 8.000 pengrajin, angka ini meningkat lebih dari 270% dibanding tahun 2013 yang hanya berjumlah 3.000 pengrajin yang tersebar di lima kabupaten/kota [sumber]. Berbagai riset mengenai industri batik menemukan beberapa permasalahan yang dihadapi industri batik, adalah:
-          Naiknya harga bahan baku
Bahan baku pembuatan batik [kain mori/ sutra, lilin, dan bahan pewarna] sebagian besar merupakan produk import dan terus mengalami kenaikan harga sehingga biaya produksi batik semakin mahal dan mau tak mau harga jualpun semakin tinggi sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah.
-          Masuknya tekstil printing bermotif batik dengan harga jauh lebih murahPerlu dipahami bahwa kerajinan batik yang dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO adalah batik tulis dan batik cap yang diproses dengan teknik pewarnaan menggunakan malam. Dengan demikian, kain motif batik import dari Tiongkok dan kain batik printing bukanlah termasuk warisan budaya, bahkan bisa jadi malah mengancam kelestarian batik tulis dan batik cap yang harganya relatif mahal. Masyarakat awam yang belum paham mengenai perbedaan batik tulis dan batik printing tentu memilih batik dengan harga yang lebih terjangkau. 
-          Regenerasi
Proses produksi batik mayoritas dilakukan oleh generasi senior karena kurangnya ketertarikan generasi muda untuk belajar proses pembuatan batik. Proses yang lama dan perlu ketelitian tinggi ditambah dengan rendahnya gaji pekerja industri batik membuat sebagain besar generasi muda memilih mata pencaharian lain yang lebih menjanjikan secara ekonomi. 
-          Variasi desain batik
Batik Jogja yang dikenal secara luas, pada umumnya adalah batik dengan motif klasik dan warna terbatas pada coklat tua, sogan, dan putih, seperti batik kawung, parang, lereng, dan truntum. Sebagian pengrajin batik mengalami permasalahan membuat inovasi desain baru sehingga calon konsumen pecinta batik tak memiliki banyak pilihan motif baru. 
-          Permasalahan lingkungan
Batik diproduksi menggunakan pewarna sintetis yang bisa mencemari lingkungan. Saat ini telah ada upaya dari pemerintah dan komunitas pemerhati batik untuk mendampingi pengrajin batik agar menggunakan pewarna alami, namun belum efektif karena prosesnya yang lebih rumit. 
-          Administrasi dan pemasaran
Sebagian pengrajin batik belum memiliki pembukuan yang memadai, proses promosi dan pemasarannyapun terbatas hanya pada penjualan langsung di toko atau pameran yang diselenggarakan pemerintah/ swasta. 

Bekerjasama melestarikan batik 
 
Melihat banyaknya permasalahan yang dihadapi industri batik, maka sudah semestinya semua elemen masyarakat ikut berpartisipasi untuk menjaga batik agar tetap lestari. Pemerintah, pihak swasta, komunitas pemerhati batik, para cendikiawan, dan semua masyarakat Indonesia harus bekerjasama untuk menjaga batik. Saat ini, semua pihak sedang bekerja keras untuk mendukung batik agar tak tenggelam dalam kancah dunia global setelah dikukuhkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah melakukan pendampingan dan pelatihan teknis -administratif untuk para pengrajin batik yang bertujuan agar industri batik dikelola secara profesional. Pendampingan teknis yang dilakukan antara lain adalah penggunaan pewarna alam untuk menggantikan pewarna sintetis yang berpotensi mencemari lingkungan. Tim peneliti dari UGM juga telah mensosialisasikan penggunaan pewarna alam dari tanaman indigofera [tarum/ nila] untuk menggantikan pewarna sintetis [sumber]. Pelatihan pengolahan limbah pewarna batik juga dilakukan agar pengrajin tak serta merta membuang limbah ke sungai. [sumber] 

Para pengrajin batik juga telah memperjuangkan adanya perlindungan kebijakan, misalnya subsidi bahan baku batik dan pembatasan import tekstil motif batik.  Dengan kebijakan pemerintah yang tepat, maka industri batik akan mampu bertahan di dalam negeri dan makin dikenal luas di luar negeri. Sepuluh tahun terakhir ini, batik sedang naik daun dan semakin popular digunakan berbagai kalangan, termasuk kaum muda. Jika dulu batik hanya digunakan untuk kegiatan tertentu, saat ini batik biasa digunakan untuk bekerja, jalan-jalan ke mall atau berwisata, menghadiri acara-acara penting, bahkan upacara kenegaraanpun seringkali menampilkan batik yang digunakan oleh pejabat negara. Ini adalah momen emas yang harus disambut batik dengan inovasi agar terus lestari.

Batik untuk acara pelantikan menteri kabinet kerja [sumber]

 Untuk mengatasi masalah inovasi desain batik, Industri batik bisa membuka peluang bagi para desainer muda untuk bekerjasama menciptakan motif batik baru yang mudah diterima pasar sekaligus memiliki nilai filosofis tinggi. salah satu tokoh yang menciptakan beberapa desain batik adalah Nyi Djogo Pertiwi dari daerah Pajiman, Imogori, Bantul. Menggeluti dunia batik sejak umur 13 tahun, Beliau telah menciptakan beberapa motif seperti adiluhung, segaran, semen garuda, dan Irian. Saat ini, dunia batik memerlukan sosok kreatif seperti beliau [sumber]. Desain baru merupakan salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan angka penjualan kain batik.
 
Selain inovasi desain batik, pemerintah juga perlu memancing dan membina kreasi batik yang dikombinasikan dengan materi non-kain, misalnya kulit, kayu, gerabah dan keramik, maupun kain  tradisional dari daerah lain. Kulit dan kayu adalah komoditas Indonesia yang sudah sangat terkenal kualitasnya, tak berlebihan jika mulai serius menggali potensi duet antara batik dengan bahan lain. Pada permulaan, bisa dimulai dengan motif klasik yang telah dikenal luas sehingga tak meninggalkan nilai kekhasan daerah Jogja. Beberapa tas bermerk yang telah memiliki pasar di dunia internasional dibuat di Indonesia, hal ini menegaskan bahwa kulit Indonesia memiliki kualitas yang sangat baik. Yang menjadi PR selanjutnya adalah masalah promosi, pemasaran, dan konsistensi kualitas. 
 
Kreativitas anak bangsa memadukan batik dengan material kulit yang perlu diapresiasi [sumber]

Masalah promosi dan pemasaran juga masih menjadi kendala bagi sebagian pengrajin batik, padahal dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seharusnya masalah ini dapat diatasi dengan cepat. Pelatihan pemasaran online atau e-commerce adalah salah satu solusi untuk memasarkan produk batik agar menjangkau daerah yang lebih luas. Pengguna internet di Indonesia yang mencapai angka 88.1 juta pada tahun 2015 adalah pangsa pasar yang sangat besar sehingga sudah selayaknya batik mendapatkan tempat khusus di arena e-commerce ini. Mungkin saat ini sudah ada beberapa pengrajin batik yang memasarkan produknya melalui internet, namun belum maksimal karena foto produk dan deskripsi yang masih seadanya. Dibandingkan dengan produk lain, misalnya pakaian kasual produk konveksi yang ditampilkan dengan foto berkualitas baik dan deskripsi serta display yang menarik, maka batik bisa jadi kalah penampilan sehingga kurang menarik minat pembeli baru. 
 
Promosi jangka pendek yang dapat langsung meningkatkan angka penjualan telah banyak dilakukan, namum upaya promosi jangka panjang masih perlu ditingkatkan. Promosi jangka panjang adalah pengenalan batik untuk anak dan remaja karena merekalah yang kelak akan menjadi generasi penerus kelestarian batik. Upaya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengangkat batik sebagai salah satu Pelajaran Muatan Lokal untuk anak SD-SMP-SMA adalah langkah yang patut diacungi jempol. Ajang lomba lukis batik, tour ke sentra batik, festival anak-anak di museum batik juga merupakan beberapa kegiatan yang positif tapi masih kurang intensif. Batik juga bisa dikenalkan melalui media yang sangat menyenangkan untuk anak-anak, yaitu mainan. Misalnya saja boneka batik. Anak-anak kita saat ini sangat akrab dengan film dan boneka puteri berpakaian indah mengembang a la puteri Eropa, alangkah bagusnya jika pasar mainan anak ini digarap dengan serius sehingga menjadi media pengenalan batik untuk anak. Misalnya film atau game dengan tokoh puteri Indonesia yang menggunakan kain batik dan memiliki karakteristik menarik yang ramah anak. Produksi boneka batik bisa memanfaatkan sisa perca kain batik sehingga tak memerlukan biaya tinggi. Kemasan dan tampilan yang menarik menjadi salah satu daya tarik bagi anak-anak dan menjadi tantangan khusus bagi pelaku industri batik dan mainan anak.
 
[Boneka batik]



Pemerintah Daerah bekerjasama dengan komunitas pecinta batik juga rutin menggelar pameran, festival budaya, dan karnaval yang bertujuan mengenalkan batik dan menarik wisatawan luar untuk berkunjung menikmati Jogja. Salah satu festival internasional yang akan digelar oleh Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta pada bulan Oktober tahun ini adalah Jogjakarta International Batik Biannale [JIBB] 2016. JIBB akan diselenggarakan pada tanggal 12-15 Oktober 2016 di Jogjakarta, berpusat di Jogja Expo Center [JEC]. JIBB 2016 dibagi menjadi 6 agenda, yaitu kompetisi blog “tradition for innovation” tanggal 12 September – 10 Oktober, pameran Batik dan fashion show di JEC pada tanggal 12-15 Oktober, symposium internasional tanggal 12 - 13 Oktober, tour batik dan tour tempat bersejarah tanggal 14 Oktober, dan workshop batik pada tanggal 15 Oktober di Giriloyo, Imogiri, Bantul. Acara yang selenggarakan oleh Dekranasda DIY ini dihadiri oleh perwakilan dunia internasional dan didukung oleh beberapa komunitas batik terbesar di Indonesia serta perusahaan nasional yang peduli akan perkembangan batik Jogja. JIBB 2016 merupakan festival kedua dan akan rutin dilakukan 2 tahun sekali sejak pengukuhan Jogja sebagai World Batik City pada tahun 2014 [sumber]. 
 


Selain untuk menjalin kerjasama dengan berbagai negara dan mengenalkan batik pada masyarakat Internasional, JIBB 2016 juga menjadi media untuk saling bertukar pengalaman mengenai teknik, metode, dan pemasaran batik di dunia global. Dari acara ini, diharapkan masyarakat internasional semakin mengenal batik dan masyarakat Indonesia, khususnya para pengrajin batik, menemukan solusi bagi permasalahan batik di era global sehingga lebih sejahtera dan maju di masa depan.

Bagi teman-teman pecinta batik, monggo pinarak menikmati batik di acara ini.  



Referensi:


1 comment: