Akhir tahun 2006 saya mulai berkenalan dengan jalanan Ibu Kota, melihat
langsung bagaimana ratusan penumpang KRL bergelantungan di pintu dan atap kereta
serta masuk dalam antrian panjang di shelter Transjakarta pada jam pulang kerja. Saat
itu saya adalah salah seorang fresh
graduate yang mulai menjajakan ijazah di Jakarta, merasakan bagaimana
setiap ruas jalan di kota metropolitan ini dicekam kemacetan sepanjang
waktu. Angkutan kota yang berhenti sembarangan, para pengendara yang tak mematuhi
rambu lalu lintas, membengkaknya jumlah kendaraan pribadi, terbatasnya jumlah
jalan darat, dan tidak tersedianya transportasi massal yang layak sering
disebut sebagai biang keladi kemacetan Jakarta. Menyedihkan sekali mendapati
hal itu sudah berlangsung puluhan tahun di Ibu Kota negara sekaligus kota
metropolitan terbesar di Indonesia.
Masalah transportasi yang carut-marut menyumbangkan kerugian bagi
banyak pihak. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan bahwa kerugian
akibat kemacetan ibu kota menyebabkan kerugian hingga Rp. 150 Trilyun per
tahun, karena meningkatnya konsumsi bahan bakar, biaya kesehatan karena paparan
polusi selama macet, hingga berkurangnya waktu kerja produktif [1]. Bukan hanya
kerugian ekonomi karena kemacetan, membludaknya jumlah kendaraan juga
bertanggungjawab atas penurunan kualitas udara di Jakarta. Greenpeace
Indonesia menyebutkan, pada semester I tahun 2016, tingkat polusi udara Jakarta
sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang
ditetapkan World Health Organization (WHO), dan tiga kali lebih besar dari
standar yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Kualitas udara yang buruk dengan
tingkat polusi tinggi dapat menyebabkan penyakit kronis mulai dari kanker paru,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung, stroke, hingga kematian dini.
Berdasarkan data 2013, tercatat 5,5 juta kematian di dunia berhubungan dengan
polusi udara. [2].
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia
mengungkapkan data bahwa 60% masalah kesehatan di Jakarta bersumber dari
polusi udara [3].
Mengingat besarnya nilai kerugian akibat kemacetan dan polusi
jalanan, maka membangun sistem transportasi massal yang terpadu dan ramah
lingkungan menjadi sangat urgen dilakukan di Jakarta. Menambah ruas jalan
darat untuk kendaraan pribadi tidak mungkin dilakukan terus menerus karena
keterbatasan lahan. Panjang ruas jalan tidak mampu lagi menampung jumlah
kendaraan bermotor yang mencapai angka 16,07 juta unit [Data Statistik Transportasi DKI Jakarta
2015, 4] sehingga pembangunan jalan baru tidak bisa diandalkan untuk melepaskan Jakarta dari kemacetan. Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai macam regulasi untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi yang melaju di
jalanan Jakarta dan mengalihkannya pada transportasi massal. Bus Transjakarta
dan commuter line adalah dua moda transportasi yang menjadi idola warga
Jakarta saat ini. Meskipun transportasi massal telah berbenah, namun jumlah masyarakat
yang memanfaatkannya masih sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 15% [5].
Hal ini disebabkan berbagai macam faktor, misalnya stasiun atau shelter Transjakarta yang sulit diakses karena ketiadaan feeder bus dan keengganan memakai transportasi massal yang bersifat individual.
Andalan untuk merubah Jakarta
Jakarta pernah menjadi pionir dalam hal pembangunan sarana transportasi
massal tapi kemudian mengendor dan akhirnya tertinggal jauh dari negara
tetangga seperti Singapura atau Jepang. Tahun 1869, ketika negara-negara lain di Asia belum terpikirkan
untuk membangun jalur transportasi umum, Batavia telah telah memiliki jalur
kereta yang menghubungkannya dengan Buitenzorg [Bogor][6].
Saat ini, hampir 150 tahun kemudian, Jakarta sedang mengejar ketertinggalan dan
memiliki harapan baru untuk memperbaiki sistem transportasi massal yang handal
dengan dibangunnya Mass Rapid Transit Jakarta [MRTJ].
Mass Rapid Transit diterjemahkan sebagai moda
transportasi dalam kota yang dapat mengangkut banyak orang [massal] dengan jeda waktu
pendek [rapid]. Sistem transportasi ini telah puluhan tahun diadopsi oleh banyak negara
di dunia, termasuk negara-negara ASEAN seperti Filipina yang memelopori pembangunan
Metro Manila pada tahun 1984. Saat ini, Singapura adalah tetangga terdekat kita
yang telah menangguk kesuksesan dari pembangunan MRT yang telah dirintis sejak
1987. Jaringan MRT di Singapura
membentang sejauh 148,9 km dengan 102 stasiun [7]. MRT telah terbukti menjadi
jalan keluar bagi permasalahan kemacetan yang menghantui kota-kota besar di
dunia.
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia-pun mulai
berbenah dengan membangun MRT Jakarta [MRTJ] yang akan membentang sepanjang 110.8km meliputi Koridor Selatan – Utara [Lebak Bulus – Kampung Bandan]. Koridor
Selatan- Utara ini akan dibangun dalam 2 fase, fase 1 dengan rute Lebak Bulus –
Bundaran Hotel Indonesia dan fase 2 meliputi rute Bundaran HI – Kampung Bandan.
Pada fase 1, proyek MRT Jakarta melakukan dua pekerjaan
konstruksi yaitu jalur layang dan bawah tanah, dengan delapan paket kontrak
yaitu tiga paket kontrak jalur layang (CP101 – 103), tiga paket kontrak jalur
bawah tanah (CP 104 – 106), satu paket kontrak sistem railway dan
trackwork (CP 107), dan kontrak rolling stock/kereta (CP108). Paket
kontrak tersebut akan memastikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
jalur koridor 1 yang melayani rute selatan – utara ini siap beroperasi pada
Maret 2019 nanti. Jalur koridor 1 ini akan membentang sepanjang 16 kilometer
dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia, dengan perincian 10 km jalur
layang dan 6 km jalur bawah tanah. Di jalur layang akan tersedia tujuh stasiun,
yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan
Sisingamangaraja. Sedangkan jalur bawah tanah, akan dibangun enam stasiun bawah
tanah, meliputi Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan
Bundaran Hotel Indonesia. [8]
MRTJ yang direncanakan akan mulai beroperasi pada akhir 2019 dapat mengangkut 173.400 penumpang
per hari dengan kapasitas 1.950 penumpang tiap kereta yang terdiri dari 6
rangkaian. Bersinergi dengan moda transportasi lain seperti Transjakarta,
commuter line, hingga LRT [Light Rail Transit], MRT dinilai banyak pihak dapat
menjadi andalan untuk memutus rantai kemacetan di Ibu Kota. Apalagi PT. MRTJ
selaku pengelola MRTJ telah merencanakan pembangunan terintegrasi yang dapat
menjadi nilai tambah bagi MRT, misalnya TOD [transit Oriented Development], circular
pedestrian yang nyaman digunakan pejalan kaki, feeder bus dan integrasi dengan
moda transportasi lain, hingga penyediaan area parkir agar tidak mengganggu
lalu lintas di sekitar stasiun MRT.
Masterplan circular pedestrian dan TOD di Dukuh Atas |
Man behind the gun
MRTJ merupakan alat atau sarana untuk melepaskan diri dari
kemacetan, secanggih apapun alatnya, tidak akan berpengaruh jika pengguna-nya
tidak antusias. Alat dan penggunanya harus bersinergi membangun bidikan yang
tepat untuk menuntaskan kemacetan. Pengguna disini tentunya adalah warga
Jakarta yang setiap hari perlu berpindah tempat untuk bekerja atau melakukan
aktivitas lainnya. Antusiasme warga menggunakan transportasi massal saat ini
masih rendah, mungkin sekali akibat rendahnya kepercayaan kepada kualitas
layanan transportasi massal. Sebagian warga juga masih berkutat pada anggapan
bahwa menggunakan kendaraan pribadi adalah ukuran prestise seseorang, sementara
transportasi umum lebih pantas digunakan oleh golongan menengah ke bawah.
Rendahnya kepercayaan warga pada layanan transportasi umum dapat
dipahami karena selama puluhan tahun pengguna transportasi umum memang
mengalami kekecewaan berulangkali karena pelayanan yang jauh dari layak. Bus kota
yang telah uzur namun tak kunjung diganti jumlahnya mencapai 65% dari jumlah
total kendaraan angkutan umum di Jakarta [9].
Jadwal kereta Jabodetabek yang masih sering terlambat, trotoar yang rusak dan
tertutup kegiatan komersil, hingga pencopet yang sering beraksi di angkutan
umum tentu menjadi alasan kenapa masih banyak warga Jakarta yang memilih
menggunakan kendaraan pribadi alih-alih transportasi umum. Kekecewaan yang
terjadi belasan tahun kemudian memicu munculnya anggapan bahwa “angkutan umum
hanyalah milik mereka yang tak berpunya”.
Transportasi massal ideal yang memenuhi syarat keamanan,
kenyamanan, dan bebas macet masih menjadi rencana hingga saat ini. Perlu kerjasama
semua pihak untuk mewujudkannya, mulai dari Presiden, penyelenggara, hingga
warga Jakarta sebagai pengguna utama transportasi massal. Saat ini, PT. MRTJ berusaha
mewujudkan sistem transportasi massal yang ideal sekaligus membangun kesadaran
dan antusisme warga melalui kampanye media sosial dengan tagar #ubahjakarta. Jika
keduanya terwujud, maka Jakarta benar-benar akan berubah dan memiliki wajah
baru tahun 2019.
Naik MRT itu keren!
Melalui kampanye #ubahJakarta, PT. MRTJ mengajak warga untuk berperan
aktif mengubah Jakarta dimulai dari diri sendiri. Salah satu peran aktif
mengubah Jakarta bisa dilakukan dengan beralih ke transportasi massal yang
handal, seperti MRT. Ya, naik MRT itu keren lho! Kenapa? Karena MRT menawarkan
solusi untuk berbagai permasalahan transportasi yang dialami Jakarta, yaitu:
1. MRT cepat, terintegrasi, dan anti
kemacetan
MRT berjalan di jalur bawah tanah dan
layang [elevated] sehingga tidak akan mengganggu dan terganggu dengan lalu
lintas di jalan konvensional. Ketika sebagian warga yang biasanya menggunakan
kendaraan pribadi kemudian beralih menggunakan MRT, maka kepadatan di jalan
raya juga dapat berkurang drastis.
Jadwal MRT yang supercepat
[pemberangkatan setiap 5 menit] juga akan menguraikan simpul-simpul kepadatan penumpang
di sepanjang rute MRT. Selain itu, MRT juga terintegrasi dengan layanan
transportasi lain seperti LRT, kereta bandara, commuterline, dan transjakarta
sehingga penumpang dapat melanjutkan perjalanan dengan efisien.
2. MRT membantu mengurangi polusi
udara
Jika kendaraan pribadi hanya
mengangkut 1-7 orang dalam sekali perjalanan, maka MRT mampu menampung 1.950
penumpang dalam sekali perjalanan. Jika ada 1000 orang yang beralih menggunakan
MRT maka akan ada pengurangan signifikan jumlah kendaraan pribadi di jalanan dan
itu berarti menurunkan angka emisi gas buang kendaraan bermotor di udara
Jakarta.
3. MRT mudah diakses
MRT fase 1 sepanjang 16km direncanakan
memiliki 13 titik stasiun di tempat-tempat strategis. Jika dibuat rerata, maka
jalur MRT akan memiliki satu stasiun pemberhentian tiap 1.2km. Hal ini akan
memudahkan calon penumpang mengakses stasiun yang paling dekat dengan pemukiman
atau tempat kerja mereka.
Keseriusan MRT dalam membangun jalur
yang mudah diakses juga tercermin dengan rencana pembangunan circular pedestrian di stasiun Dukuh
Atas yang merupakan salah satu puncak kepadatan.
4. MRT aman
MRT Jakarta beroperasi dengan standar internasional, memenuhi nilai keamanan, kenyamanan,
dan dapat diandalkan. Dalam pembangunannya, jalur MRT Jakarta didesain tahan terhadap gempa mengikuti Standar Nasional Indonesia. Sistem
anti-banjir juga sudah disiapkan untuk menghindari banjir masuk terowongan. Akses
air dari luar stasiun bawah tanah hanya melalui area pintu masuk yang terletak
di area pejalan kaki, yang tingginya sekitar 30 cm – 100 cm dari permukaan
jalan. Sehingga jika terjadi situasi rentan banjir maka pintu masuk akan
ditinggikan sebelum penumpang turun dengan tangga atau eskalator. Selain itu,
terdapat flood gate dan rolling door yang berfungsi sebagai flood barrier siap menutup akses pintu masuk bila air semakin tinggi.
MRTJ juga berkomitmen menjamin keamanan selama proses konstruksi maupun setelah
jalur MRT beroperasi dengan menempatkan tenaga pengamanan dan CCTV di setiap
stasiun [10].
5. MRT nyaman untuk semua
MRT melibatkan banyak pihak selama
proses perencanaan dan pembangunan, sehingga warga dapat menggunakan MRT dengan
nyaman. Fasilitas khusus yang memudahkan kaum difabel [jalan tactile untuk tunanetra, gate khusus
untuk pengguna kursi roda, elevator dan posisi peron yang memudahkan lalu
lintas difabel, dan bangku khusus untuk difabel] dan orang dengan kebutuhan
khusus [ruang laktasi untuk ibu menyusui, bangku prioritas untuk
anak/lansia/ibu hamil]. MRT juga menyediakan arena komersil yang dapat
digunakan para penumpang untuk menikmati makan, minum, atau menjalin relasi
sosial.
6. MRT hemat
Penggunaan kendaraan pribadi memerlukan
BBM yang tidak sedikit dan biaya operasional tinggi, dengan beralih menggunakan
MRT maka dana transportasi bisa dihemat dan dialokasikan untuk keperluan lain.
Masalah transportasi Jakarta yang
carut-marut selama puluhan tahun, kini seolah mendapatkan titik terang dengan keberadaan
MRT. Namun lagi-lagi perlu kita ingat, perubahan membutuhkan 2 pihak yang
saling bekerjasama. Sarana transportasi massal yang handal dan warga kota yang
mau mengubah pilihan moda transportasi akan bersinergi mengubah wajah kota
Jakarta menjadi lebih ramah dan layak huni. Data survei Kompas pada Februari
2017 menunjukkan bahwa 45% pengendara mobil memutuskan akan beralih ke MRT sedangkan
42% menyatakan mungkin akan beralih ke MRT dan sisanya 11% menyatakan tidak
akan beralih [11].
42% pengguna mobil yang menyatakan kemungkinan beralih ke MRT adalah lahan yang
harus digarap dengan serius untuk memperoleh perubahan yang signifikan. Angka ini
cukup besar sehingga merupakan tantangan berat untuk MRTJ maupun pemerintah.
Mewujudkan
kesadaran untuk memulai gaya hidup sehat bersama MRT, sosialisasi mengenai
sistem transportasi MRT yang terintegrasi, serta keuntungan sosial-ekonomi-lingkungan
yang didapatkan masyarakat dengan beralih ke MRT adalah beberapa isu yang dapat
dimanfaatkan untuk menarik calon pengguna. Dulu Batavia pernah berjaya membangun
transportasi massal, sekarang 150 tahun kemudian Jakarta kembali berbenah dan
kita berada pada pusaran yang bisa menentukan arah perubahan menjadi positif. Saatnya
kita turut serta bekerja bersama #ubahJakarta