2 mingguan ini, nampaknya saya mengalami apa yang namanya CLBK alias cinta lama bersemi kembali. Bagaimana tidak, tiap hari kok ya yang dikangeni makanan dan jajanan yang duluuuuu sekali sangat saya cintai. Mulai dari oseng-oseng kacang panjang wayu [yang sampe coklat warnanya dan lembek kacangnya, apalagi ada irisan tempe semangiit. duuuh...], pecel, sermier, kulit mlinjo goreng, cap jae [ini adalah versi ndeso jadi capcay, dibuat dari semacam bakwan yang diiris-iris lalu dimasak dengan bumbu mie goreng], jenang grendul, dan akhirnya pagi ini cinta membawa saya kembali pada: sego kucing! Mungkin juga ini efek sedang baca buku Pak Umar Kayam yang direkomendasikan pak Bojo. Satria Piningit ing Kampung Pingit yang kental sekali nuansa Yukja-nya, jadi lidahpun protes pengen nostalgia mencicipi lagi makanan khas kaum mahasiswa [terutama yang uang bulanannya ngepres kayak saya], yaitu sego kucing.
Pasti udah pada tau banget tentang si sego [nasi] yang satu ini ya, legendaris banget di Jogja, Solo, dan Sekitarnya. Sego ini dijajakan di angkringan atau hik, dibungkus kecil-kecil dengan lauk dan sayur yang minimalis: beberapa ekor ikan teri, sesendok oseng buncis, sak pyuk bihun goreng, atau bahkan cuma sambel bawang saja. Untuk membedakan menu satu dengan menu lainnya, bisa cek warna dan jumlah karet, jumlah streples, atau cari tulisan tangan 'menu' yang ada di pojok tum-tuman sego kucing itu.
Mungkin karena porsinya yang kuecil itulah yang membuatnya disebut sego kucing, sego yang porsinya hanya cukup untuk kucing. Tahun 2001 - 2006 waktu saya masih di Jogja, sego kucing biasa saya beli seharga Rp. 500 [beda-beda dikit antarangkringan, terutama kalo di daerah elith harganya bisa jadi lebih mahal]. Beberapa tahun belakangan, waktu saya mampir Jogja harganya sudah naik berkali-kali lipat :D
Selama 7 tahun di Bekasi, saya belum pernah sekalipun mencoba berburu angkringan ataupun sego kucing, jadi saat kepengen tiba-tiba begini nggak tau harus kemana carinya. Akhirnya memutuskan untuk bikin sendiri, satu jam kemluthek di dapur dan inilah jadinya: beberapa bungkus sego kucing. Hahaha.. mungkin diam-diam saya berbakat bikin angkringan ya, lumayan juga! Sego Kucing Mbok Devi dengan tagline: murah, wareg, dan nostalgic :D :D
Untuk bikin topping sego kucing, saya pilih yang gampang dan sesuai stok di dapur aja: oseng tahu cabe ijo, sambel teri pete, dan sambel suwir pindang. Karena semua itu guampang banget dan pastinya udah jadi menu rutin di jutaan dapur orang Indonesia, jadi nggak usah pake resep lah ya [Padune saya males ngetik resep tapi pengen pamer sego kucing kawe hasil dapur saya hari ini] hehe. Salam sego kucing :)
Pada suatu siang sepulang
sekolah, anak lelaki saya yang waktu itu masih duduk di kelas TK B menyerahkan surat
pemberitahuan dari gurunya yang berisi: tugas membawa snack untuk dimakan
bersama di kegiatan tahunan kelas besok. Sayapun segera memutar otak, mencari
snack yang mudah disiapkan dan disukai anak-anak. Biasanya pada acara makan
bersama di kelas, anak-anak membawa aneka snack kemasan seperti biscuit, wafer,
permen, coklat, krupuk, dan semacamnya. Tapi daftar snack semacam itu sudah
saya coret sejak awal karena memang saya ingin membiasakan anak agar membatasi konsumsi makanan kemasan. Selain menghindari kandungan zat artifisial [pemanis buatan,
perasa, msg, pewarna, pengawet] yang berlebihan pada snack kemasan, anak-anak
sebaiknya lebih banyak diberikan kesempatan mengenal rasa alami snack sehat
kan? Dengan begitu, ketika dewasa nanti mereka sudah terbiasa dengan makanan
sehat dan memilih makanan sehat dengan kesadaran sendiri demi memiliki tubuh
yang sehat.
Daftar snack sehat yang mungkin bisa
dibawa adalah buah-buahan, tapi saya agak khawatir jika teman-teman sekelasnya
kurang suka buah. Mengingat biasanya anak saya bercerita bahwa teman-temannya
banyak yang menyisihkan buah di kala snack time hahaha. Tapi dengan berbekal
hasil browsing di internet, sayapun menemukan trik pengemasan buah yang pasti
akan disukai anak-anak. Sore harinya, saya menyiapkan bahan-bahan yang
diperlukan, yaitu kain perca, kain tile, lem tembak, ballpoint, gunting, pita, dan renda. Semua bahan-bahan itu selalu ada di rumah karena saya memang suka
membuat prakarya sederhana bersama anak. Dan hari itu, saya mau mendandani
pisang! Mendandani pisang? Ya, pisang yang tampil polos mungkin kurang
menarik bagi anak-anak yang tak suka buah, tapi pisang berkostum mungkin sekali
menarik perhatian mereka. Mungkin ada Ayah-Bunda yang sedang mencari pilihan
snack sehat untuk acara ulang tahun atau kumpul anak, pisang berkostum ini bisa
jadi pilihan. Bikinnya mudah, bahannyapun dapat disesuaikan dengan stok yang
ada di rumah. Jika tak ada perca kain, bisa memakai kain felt ataupun kertas warna-warni.
Keesokan harinya, sepulang
sekolah anak saya bercerita pisang berkostum yang dibawanya jadi rebutan karena
semua temannya suka tapi jumlahnya kurang banyak. Meskipun bersyukur karena
anak-anak antusias memakan pisang berkostum, tapi jadi agak menyesal kenapa tak
menyiapkan pisang berkostum yang lebih banyak hehehe
Nah kalau di keluarga kami,
pisang ini termasuk buah yang wajib ada di meja makan karena hampir tiap hari
anak semata wayang minta dibuatkan pisang keju-meises. Selain gampang dibuat, menu
ini pasti habis dalam waktu cepat karena anak saya suka sekali sajian pisang
dengan taburan keju parut dan sedikit meises. Kalau saya dan suami, biasanya pisang dimakan begitu saja sebagai buah sarapan pagi atau snack sore. Salah satu jenis pisang yang
rutin kami sediakan di rumah adalah pisang cavendish produk dari Sunpride, pisang pasti Sunpride.
Pisang Cavendish banyak dikembangbiakan menggunakan metode kultur
jaringan sehingga tidak rentan terhadap penyakit seperti layu moko akibat Pseudomonas solanacearum dan layu panama akibat Fusarium oxysporum cubense [sumber]. Dulu saat pertama kali tahu
tentang pisang cavendish Sunpride, saya mengiranya sebagai produk import karena
penampilannya yang kuning cantik dengan permukaan mulus. Belakangan saya baru
tahu bahwa pisang cavendish Sunpride merupakan produk nusantara yang ditanam di
perkebunan milik grup Gunung Sewu di daerah Lampung. Warna kuning cantik dan penampilan yang mulus didapatkan karena
perawatan yang maksimal mulai dari pemilihan bibit hingga pengemasannya. Wah,
kalau gitu nggak ragu-ragu lagi mengkonsumsi pisang cavendish Sunpride karena dengan
memilih mengkonsumsi buah lokal berarti kita juga ikut membantu memajukan
perkebunan pisang di tanah air, harganya lebih terjangkau, lebih segar, dan
bisa ikut serta mengurangi polusi yang bisa ditimbulkan oleh proses pengangkutan yang panjang dari buah import.
Pisang sering disebut-sebut
sebagai buah surga karena rasanya yang lezat layaknya buah di surga. Saya sangat
setuju pada julukan itu, begitu juga seluruh masyarakat Indonesia. Terbukti dari
data Kementerian Pertanian yang menunjukkan konsumsi pisang dalam lima tahun terakhir
selalu menempati posisi tertinggi di antara jenis buah yang lain [2014, sumber].
Selain lezat, pisang juga mudah didapatkan, praktis dibawa, dan mengandung
banyak vitamin, serat, serta mineral penting untuk tubuh.
Pisang cavendish sangat mudah didapatkan
di berbagai gerai belanja, mini market, hingga supermarket. kita dapat membeli
pisang sesuai kebutuhan karena PT. Sewu Segar Nusantara menyediakan pisang cavendish
dalam beberapa pilihan, yaitu:
Canvendish
single
Satu pisang cavendish
yang dikemas dengan plastik khusus sehingga mudah dibawa dan tetap terjaga
kesegarannya. Pisang single yang banyak tersedia di mini market di seluruh
Indonesia ini, sangat cocok dibawa sebagai bekal snack sehat, sarapan praktis
ketika di kendaraan, atau persiapan bekal ketika harus pergi mendadak ke suatu
tempat.
Canvendish
finger
Pisang cavendish
yang terdiri atas 1-2 buah pisang, cocok untuk bekal atau persediaan buah
harian.
Canvendish
cluster
Pisang cavendish
yang terdiri atas 3-8 buah pisang, biasanya terdapat di supermarket atau gerai
belanja besar. Sangat cocok untuk persediaan keluarga selama beberapa hari.
Saya biasa membeli pisang cavendish Sunpride dari Giant yang paling dekat dengan rumah saya.
Selain pisang Cavendish, Sunpride
juga memiliki banyak buah nusantara lainnya lho, seperti buah naga, jambu Kristal,
jeruk baby, mangga chokanan, melon, nanas honi, pepaya California, dan pisang
mas. Semuanya kesukaan keluarga kami!
Akhir tahun 2006 saya mulai berkenalan dengan jalanan Ibu Kota, melihat
langsung bagaimana ratusan penumpang KRL bergelantungan di pintu dan atap kereta
serta masuk dalam antrian panjang di shelter Transjakarta pada jam pulang kerja. Saat
itu saya adalah salah seorang fresh
graduate yang mulai menjajakan ijazah di Jakarta, merasakan bagaimana
setiap ruas jalan di kota metropolitan ini dicekam kemacetan sepanjang
waktu. Angkutan kota yang berhenti sembarangan, para pengendara yang tak mematuhi
rambu lalu lintas, membengkaknya jumlah kendaraan pribadi, terbatasnya jumlah
jalan darat, dan tidak tersedianya transportasi massal yang layak sering
disebut sebagai biang keladi kemacetan Jakarta. Menyedihkan sekali mendapati
hal itu sudah berlangsung puluhan tahun di Ibu Kota negara sekaligus kota
metropolitan terbesar di Indonesia.
Masalah transportasi yang carut-marut menyumbangkan kerugian bagi
banyak pihak. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan bahwa kerugian
akibat kemacetan ibu kota menyebabkan kerugian hingga Rp. 150 Trilyun per
tahun, karena meningkatnya konsumsi bahan bakar, biaya kesehatan karena paparan
polusi selama macet, hingga berkurangnya waktu kerja produktif [1]. Bukan hanya
kerugian ekonomi karena kemacetan, membludaknya jumlah kendaraan juga
bertanggungjawab atas penurunan kualitas udara di Jakarta. Greenpeace
Indonesia menyebutkan, pada semester I tahun 2016, tingkat polusi udara Jakarta
sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang
ditetapkan World Health Organization (WHO), dan tiga kali lebih besar dari
standar yang ditetapkan Pemerintah Indonesia. Kualitas udara yang buruk dengan
tingkat polusi tinggi dapat menyebabkan penyakit kronis mulai dari kanker paru,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), jantung, stroke, hingga kematian dini.
Berdasarkan data 2013, tercatat 5,5 juta kematian di dunia berhubungan dengan
polusi udara. [2].
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Universitas Indonesia
mengungkapkan data bahwa 60% masalah kesehatan di Jakarta bersumber dari
polusi udara [3].
Mengingat besarnya nilai kerugian akibat kemacetan dan polusi
jalanan, maka membangun sistem transportasi massal yang terpadu dan ramah
lingkungan menjadi sangat urgen dilakukan di Jakarta. Menambah ruas jalan
darat untuk kendaraan pribadi tidak mungkin dilakukan terus menerus karena
keterbatasan lahan. Panjang ruas jalan tidak mampu lagi menampung jumlah
kendaraan bermotor yang mencapai angka 16,07 juta unit [Data Statistik Transportasi DKI Jakarta
2015, 4] sehingga pembangunan jalan baru tidak bisa diandalkan untuk melepaskan Jakarta dari kemacetan. Pemerintah telah mengeluarkan
berbagai macam regulasi untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi yang melaju di
jalanan Jakarta dan mengalihkannya pada transportasi massal. Bus Transjakarta
dan commuter line adalah dua moda transportasi yang menjadi idola warga
Jakarta saat ini. Meskipun transportasi massal telah berbenah, namun jumlah masyarakat
yang memanfaatkannya masih sangat sedikit, yaitu hanya sebesar 15% [5].
Hal ini disebabkan berbagai macam faktor, misalnya stasiun atau shelter Transjakarta yang sulit diakses karena ketiadaan feeder bus dan keengganan memakai transportasi massal yang bersifat individual.
Andalan untuk merubah Jakarta
Jakarta pernah menjadi pionir dalam hal pembangunan sarana transportasi
massal tapi kemudian mengendor dan akhirnya tertinggal jauh dari negara
tetangga seperti Singapura atau Jepang. Tahun 1869, ketika negara-negara lain di Asia belum terpikirkan
untuk membangun jalur transportasi umum, Batavia telah telah memiliki jalur
kereta yang menghubungkannya dengan Buitenzorg [Bogor][6].
Saat ini, hampir 150 tahun kemudian, Jakarta sedang mengejar ketertinggalan dan
memiliki harapan baru untuk memperbaiki sistem transportasi massal yang handal
dengan dibangunnya Mass Rapid Transit Jakarta [MRTJ].
Mass Rapid Transit diterjemahkan sebagai moda
transportasi dalam kota yang dapat mengangkut banyak orang [massal] dengan jeda waktu
pendek [rapid]. Sistem transportasi ini telah puluhan tahun diadopsi oleh banyak negara
di dunia, termasuk negara-negara ASEAN seperti Filipina yang memelopori pembangunan
Metro Manila pada tahun 1984. Saat ini, Singapura adalah tetangga terdekat kita
yang telah menangguk kesuksesan dari pembangunan MRT yang telah dirintis sejak
1987. Jaringan MRT di Singapura
membentang sejauh 148,9 km dengan 102 stasiun [7]. MRT telah terbukti menjadi
jalan keluar bagi permasalahan kemacetan yang menghantui kota-kota besar di
dunia.
Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan dunia-pun mulai
berbenah dengan membangun MRT Jakarta [MRTJ] yang akan membentang sepanjang 110.8km meliputi Koridor Selatan – Utara [Lebak Bulus – Kampung Bandan]. Koridor
Selatan- Utara ini akan dibangun dalam 2 fase, fase 1 dengan rute Lebak Bulus –
Bundaran Hotel Indonesia dan fase 2 meliputi rute Bundaran HI – Kampung Bandan.
Pada fase 1, proyek MRT Jakarta melakukan dua pekerjaan
konstruksi yaitu jalur layang dan bawah tanah, dengan delapan paket kontrak
yaitu tiga paket kontrak jalur layang (CP101 – 103), tiga paket kontrak jalur
bawah tanah (CP 104 – 106), satu paket kontrak sistem railway dan
trackwork (CP 107), dan kontrak rolling stock/kereta (CP108). Paket
kontrak tersebut akan memastikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk
jalur koridor 1 yang melayani rute selatan – utara ini siap beroperasi pada
Maret 2019 nanti. Jalur koridor 1 ini akan membentang sepanjang 16 kilometer
dari Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia, dengan perincian 10 km jalur
layang dan 6 km jalur bawah tanah. Di jalur layang akan tersedia tujuh stasiun,
yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Cipete Raya, Haji Nawi, Blok A, Blok M, dan
Sisingamangaraja. Sedangkan jalur bawah tanah, akan dibangun enam stasiun bawah
tanah, meliputi Senayan, Istora, Bendungan Hilir, Setiabudi, Dukuh Atas, dan
Bundaran Hotel Indonesia. [8]
MRTJ yang direncanakan akan mulai beroperasi pada akhir 2019 dapat mengangkut 173.400 penumpang
per hari dengan kapasitas 1.950 penumpang tiap kereta yang terdiri dari 6
rangkaian. Bersinergi dengan moda transportasi lain seperti Transjakarta,
commuter line, hingga LRT [Light Rail Transit], MRT dinilai banyak pihak dapat
menjadi andalan untuk memutus rantai kemacetan di Ibu Kota. Apalagi PT. MRTJ
selaku pengelola MRTJ telah merencanakan pembangunan terintegrasi yang dapat
menjadi nilai tambah bagi MRT, misalnya TOD [transit Oriented Development], circular
pedestrian yang nyaman digunakan pejalan kaki, feeder bus dan integrasi dengan
moda transportasi lain, hingga penyediaan area parkir agar tidak mengganggu
lalu lintas di sekitar stasiun MRT.
Masterplan circular pedestrian dan TOD di Dukuh Atas
Man behind the gun
MRTJ merupakan alat atau sarana untuk melepaskan diri dari
kemacetan, secanggih apapun alatnya, tidak akan berpengaruh jika pengguna-nya
tidak antusias. Alat dan penggunanya harus bersinergi membangun bidikan yang
tepat untuk menuntaskan kemacetan. Pengguna disini tentunya adalah warga
Jakarta yang setiap hari perlu berpindah tempat untuk bekerja atau melakukan
aktivitas lainnya. Antusiasme warga menggunakan transportasi massal saat ini
masih rendah, mungkin sekali akibat rendahnya kepercayaan kepada kualitas
layanan transportasi massal. Sebagian warga juga masih berkutat pada anggapan
bahwa menggunakan kendaraan pribadi adalah ukuran prestise seseorang, sementara
transportasi umum lebih pantas digunakan oleh golongan menengah ke bawah.
Rendahnya kepercayaan warga pada layanan transportasi umum dapat
dipahami karena selama puluhan tahun pengguna transportasi umum memang
mengalami kekecewaan berulangkali karena pelayanan yang jauh dari layak. Bus kota
yang telah uzur namun tak kunjung diganti jumlahnya mencapai 65% dari jumlah
total kendaraan angkutan umum di Jakarta [9].
Jadwal kereta Jabodetabek yang masih sering terlambat, trotoar yang rusak dan
tertutup kegiatan komersil, hingga pencopet yang sering beraksi di angkutan
umum tentu menjadi alasan kenapa masih banyak warga Jakarta yang memilih
menggunakan kendaraan pribadi alih-alih transportasi umum. Kekecewaan yang
terjadi belasan tahun kemudian memicu munculnya anggapan bahwa “angkutan umum
hanyalah milik mereka yang tak berpunya”.
Transportasi massal ideal yang memenuhi syarat keamanan,
kenyamanan, dan bebas macet masih menjadi rencana hingga saat ini. Perlu kerjasama
semua pihak untuk mewujudkannya, mulai dari Presiden, penyelenggara, hingga
warga Jakarta sebagai pengguna utama transportasi massal. Saat ini, PT. MRTJ berusaha
mewujudkan sistem transportasi massal yang ideal sekaligus membangun kesadaran
dan antusisme warga melalui kampanye media sosial dengan tagar #ubahjakarta. Jika
keduanya terwujud, maka Jakarta benar-benar akan berubah dan memiliki wajah
baru tahun 2019.
Naik MRT itu keren!
Melalui kampanye #ubahJakarta, PT. MRTJ mengajak warga untuk berperan
aktif mengubah Jakarta dimulai dari diri sendiri. Salah satu peran aktif
mengubah Jakarta bisa dilakukan dengan beralih ke transportasi massal yang
handal, seperti MRT. Ya, naik MRT itu keren lho! Kenapa? Karena MRT menawarkan
solusi untuk berbagai permasalahan transportasi yang dialami Jakarta, yaitu:
1. MRT cepat, terintegrasi, dan anti
kemacetan
MRT berjalan di jalur bawah tanah dan
layang [elevated] sehingga tidak akan mengganggu dan terganggu dengan lalu
lintas di jalan konvensional. Ketika sebagian warga yang biasanya menggunakan
kendaraan pribadi kemudian beralih menggunakan MRT, maka kepadatan di jalan
raya juga dapat berkurang drastis.
Jadwal MRT yang supercepat
[pemberangkatan setiap 5 menit] juga akan menguraikan simpul-simpul kepadatan penumpang
di sepanjang rute MRT. Selain itu, MRT juga terintegrasi dengan layanan
transportasi lain seperti LRT, kereta bandara, commuterline, dan transjakarta
sehingga penumpang dapat melanjutkan perjalanan dengan efisien.
2. MRT membantu mengurangi polusi
udara
Jika kendaraan pribadi hanya
mengangkut 1-7 orang dalam sekali perjalanan, maka MRT mampu menampung 1.950
penumpang dalam sekali perjalanan. Jika ada 1000 orang yang beralih menggunakan
MRT maka akan ada pengurangan signifikan jumlah kendaraan pribadi di jalanan dan
itu berarti menurunkan angka emisi gas buang kendaraan bermotor di udara
Jakarta.
3. MRT mudah diakses
MRT fase 1 sepanjang 16km direncanakan
memiliki 13 titik stasiun di tempat-tempat strategis. Jika dibuat rerata, maka
jalur MRT akan memiliki satu stasiun pemberhentian tiap 1.2km. Hal ini akan
memudahkan calon penumpang mengakses stasiun yang paling dekat dengan pemukiman
atau tempat kerja mereka.
Keseriusan MRT dalam membangun jalur
yang mudah diakses juga tercermin dengan rencana pembangunan circular pedestrian di stasiun Dukuh
Atas yang merupakan salah satu puncak kepadatan.
4. MRT aman
MRT Jakarta beroperasi dengan standar internasional, memenuhi nilai keamanan, kenyamanan,
dan dapat diandalkan. Dalam pembangunannya, jalur MRT Jakarta didesain tahan terhadap gempa mengikuti Standar Nasional Indonesia. Sistem
anti-banjir juga sudah disiapkan untuk menghindari banjir masuk terowongan. Akses
air dari luar stasiun bawah tanah hanya melalui area pintu masuk yang terletak
di area pejalan kaki, yang tingginya sekitar 30 cm – 100 cm dari permukaan
jalan. Sehingga jika terjadi situasi rentan banjir maka pintu masuk akan
ditinggikan sebelum penumpang turun dengan tangga atau eskalator. Selain itu,
terdapat flood gate dan rolling dooryang berfungsi sebagai flood barrier siap menutup akses pintu masuk bila air semakin tinggi.
MRTJ juga berkomitmen menjamin keamanan selama proses konstruksi maupun setelah
jalur MRT beroperasi dengan menempatkan tenaga pengamanan dan CCTV di setiap
stasiun [10].
5. MRT nyaman untuk semua
MRT melibatkan banyak pihak selama
proses perencanaan dan pembangunan, sehingga warga dapat menggunakan MRT dengan
nyaman. Fasilitas khusus yang memudahkan kaum difabel [jalan tactile untuk tunanetra, gate khusus
untuk pengguna kursi roda, elevator dan posisi peron yang memudahkan lalu
lintas difabel, dan bangku khusus untuk difabel] dan orang dengan kebutuhan
khusus [ruang laktasi untuk ibu menyusui, bangku prioritas untuk
anak/lansia/ibu hamil]. MRT juga menyediakan arena komersil yang dapat
digunakan para penumpang untuk menikmati makan, minum, atau menjalin relasi
sosial.
6. MRT hemat
Penggunaan kendaraan pribadi memerlukan
BBM yang tidak sedikit dan biaya operasional tinggi, dengan beralih menggunakan
MRT maka dana transportasi bisa dihemat dan dialokasikan untuk keperluan lain.
Masalah transportasi Jakarta yang
carut-marut selama puluhan tahun, kini seolah mendapatkan titik terang dengan keberadaan
MRT. Namun lagi-lagi perlu kita ingat, perubahan membutuhkan 2 pihak yang
saling bekerjasama. Sarana transportasi massal yang handal dan warga kota yang
mau mengubah pilihan moda transportasi akan bersinergi mengubah wajah kota
Jakarta menjadi lebih ramah dan layak huni. Data survei Kompas pada Februari
2017 menunjukkan bahwa 45% pengendara mobil memutuskan akan beralih ke MRT sedangkan
42% menyatakan mungkin akan beralih ke MRT dan sisanya 11% menyatakan tidak
akan beralih [11].
42% pengguna mobil yang menyatakan kemungkinan beralih ke MRT adalah lahan yang
harus digarap dengan serius untuk memperoleh perubahan yang signifikan. Angka ini
cukup besar sehingga merupakan tantangan berat untuk MRTJ maupun pemerintah.
Mewujudkan
kesadaran untuk memulai gaya hidup sehat bersama MRT, sosialisasi mengenai
sistem transportasi MRT yang terintegrasi, serta keuntungan sosial-ekonomi-lingkungan
yang didapatkan masyarakat dengan beralih ke MRT adalah beberapa isu yang dapat
dimanfaatkan untuk menarik calon pengguna. Dulu Batavia pernah berjaya membangun
transportasi massal, sekarang 150 tahun kemudian Jakarta kembali berbenah dan
kita berada pada pusaran yang bisa menentukan arah perubahan menjadi positif. Saatnya
kita turut serta bekerja bersama #ubahJakarta
Kemajuan teknologi yang terjadi 40 tahun terakhir seolah telah memindahkan umat manusia dari planet bernama
bumi ke planet digital. Surat berubah menjadi e-mail, telepon kabel
berubah senjadi smartphone, koran dan buku cetak menjadi e-paper dan e-book. Perubahan
besar terjadi di segala bidang, mulai
dari kebiasaan personal hingga perbaikan fasilitas layanan publik, mulai dari proses
berbelanja hingga proses belajar mengajar mengalami perubahan. Perubahan ini
membawa banyak sekali manfaat seperti semakin cepatnya komunikasi, meningkatnya
kualitas layanan publik, tumbuhnya peluang dunia usaha, serta mudahnya akses
informasi dan pembelajaran.
Menghadapi perubahan tersebut,
kita sebagai orang tuapun harus bersiap dan beradaptasi jika tak ingin
terlindas dan kalah oleh perubahan. Adaptasi terbesar yang harus dipersiapkan
adalah mengenai pengasuhan anak. Kebiasaan anak-anak saat ini telah jauh
berbeda dengan kebiasaan anak 30 tahun tahun yang lalu. Dahulu anak-anak akrab
dengan lumpur dan sungai, bermain di lapangan rumput yang berlimpah sinar
matahari, belum mengenal televisi apalagi smartphone. Sedangkan anak jaman
sekarang mungkin tak lagi pernah menginjak rumput dan memegang lumpur, lebih
menyukai ruangan sejuk ber AC daripada panasnya sinar matahari, dan tentunya
banyak ditemani gadget dalam kegiatan sehari-hari.
Kebiasaan yang berbeda dan
lingkungan yang berubah karena perkembangan teknologi menghasilkan
masalah-masalah baru yang belum diketahui oleh orangtua di masa peralihan. Dahulu
ketika saya masih di bangku SD, masalah yang sering muncul adalah peralatan sekolah
yang rusak, tas teman yang lebih bagus, sepeda baru hadiah kenaikan kelas, dan
menunggu waktu pulang sekolah agar bisa main lompat tali sampai sore. Sedangkan
anak-anak yang tumbuh sebagai digital native [1], memiliki permasalahan yang lebih
rumit. Derasnya arus informasi membuat anak-anak terpapar konten negatif yang
belum saatnya mereka ketahui, misalnya pornografi dan kekerasan yang ditonton
dari tayangan media digital.
Survey APJII [Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia] pada tahun 2016
mengungkapkan bahwa anak usia 10-14 tahun yang telah mulai aktif menggunakan
internet jumlahnya mencapai 768.000 anak. Mungkin hal ini tak lagi
mengejutkan, mengingat bahwa dalam keseharian kita juga telah terbiasa
mendapati anak-anak prasekolah atau anak usia SD yang sangat akrab dengan
gadget-nya sepanjang hari. Namun orang tua harus mewaspadai fenomena ini, karena
semakin dini anak-anak terpapar internet maka semakin besar kemungkinan mereka
mendapatkan pengaruh negatif. Sebagian besar platform media sosial mensyaratkan
usia 13 tahun untuk menjadi pengguna aktif, hal ini tentunya bukan tanpa alasan.
Anak-anak dibawah usia 13 tahun merupakan kelompok yang paling rentan terkena
pengaruh negatif dari penggunaan media digital yang berlebihan. Anak-anak yang sangat muda, bahkan bisa mengalami gangguan perilaku, gangguan perkembangan bahasa, serta gangguan motorik dan masalah kesehatan karena mengakses media digital secara tak terkendali.
Sesuai fitrahnya, anak-anak
selalu ingin tahu, suka meniru, dan polos. Titik inilah yang harus mendapatkan
perhatian penuh dari orang tua. Media digital, khususnya internet, merupakan
rimba raya informasi yang dihuni jutaan netizen anonim dari seluruh penjuru
dunia dengan berbagai macam perilaku. Ada ribuan konten negatif diposting setiap detiknya,
mulai dari tayangan kekerasan, foto-foto bermuatan pornografi dan pornoaksi,
hoax, kata-kata kasar, lagu dan film untuk segmen dewasa, serta pelecehan
personal. Bayangkan jika anak-anak yang polos dan suka meniru ini mengakses konten
tersebut karena tak ada orang tua yang mendampinginya. Bayangkan betapa dahsyat
pengaruh negatif dan daya rusak media digital jika ia tak digunakan secara aman
dan bijaksana.
Sayangnya, pengaruh negatif media
digital telah memakan korban. Anak dan remaja yang menggunakan internet tanpa
panduan dan bimbingan orang tua sangat rentan terhadap bahaya. Sebagian besar
tidak menyadari bahwa bertukar informasi pribadi dan bertemu dengan orang asing
yang dikenal dari media sosial adalah hal yang sangat berresiko. Komisi
Nasional Perlindungan Anak menyebutkan bahwa pemerkosaan pada remaja putri oleh
kenalannya di media sosial mulai muncul tahun 2011 sebanyak 36 kasus. Tahun
2012, sebanyak 29 kasus dan pada Januari-Maret 2013 jumlahnya naik lagi menjadi
37 kasus. Pada tahun 2016, KPAI menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat. Dari
jumlah itu, sebanyak 414 kasus merupakan kasus kejahatan anak berbasis siber.
Permasalahan yang harus dihadapi
keluarga dalam era digital merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah ada
sebelumnya. Setelah ribuan tahun manusia membangun peradaban di bumi, baru kali
inilah manusia harus menghadapi permasalahan karena perkembangan teknologi
digital. Orang tua menghadapi kebiasaan dan masalah baru dalam membesarkan
anak-anak sehingga harus mencari pola pengasuhan yang sesuai dengan perubahan
zaman. Tentunya hal ini tidak mudah, banyak orang tua yang merasa canggung dan
kebingungan menghadapi era digital. Namun karena tanggung jawab utama
pengasuhan berada di tangan orang tua, maka mau tak mau, tahu tak tahu, orang
tua harus memegang kendali penuh. Jika orang tua tak tahu dan tak mau belajar,
anak-anak yang akan terpapar pengaruh negatif media digital, sehingga satu-satunya
jalan orang tua harus tahu dan mau belajar apa itu pengasuhan era digital.
Menghadapi era digital yang cepat
sekali berubah, orang tua harus selalu meng-upgrade kemampuannya, baik itu
kemampuan parenting maupun kemampuan terkait teknologi yang akrab dengan
kehidupan anak-anak. Orang tua dapat menangguk manfaat dari mudahnya mencari
informasi di era digital seperti saat ini. Informasi mengenai parenting
dapat dengan mudah didapatkan dari blog, e-book, atau media sosial seperti
fanpage Yayasan Kita dan Buah Hati. Informasi mengenai memanfaatkan internet
dengan aman dan sehat juga sangat mudah dicari. Menjadi orang tua pembelajar adalah suatu keniscayaan bagi siapapun yang ingin melewati masa peralihan ini dengan baik.
Selain meng-upgrade kemampuan,
orang tua juga harus menginstal software vital yang bermanfaat untuk membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan teknologi digital, yaitu sikap mental positif. Salah satu software yang paling penting adalah yang
bernama “software spiritual” yang berisi nilai-nilai agama, kejujuran, kasih
sayang, dan tenggang rasa. Yang kedua adalah “software self esteem” yang harus
diinstal sejak seorang anak lahir di dunia dengan cara: memenuhi kebutuhan akan
rasa aman, rasa berharga, unconditonal love, dan penerimaan diri. Self esteem
akan membuat anak merasa berharga, mandiri, dan berani bertanggung jawab atas
apa yang dilakukannya. Sikap mental positif ini akan menjadi senjata ketika anak menghadapi berbagai pengaruh negatif, anak berani mengambil sikap berbeda ketika lingkungannya membawa hal buruk. Yang ketiga adalah “software pengetahuan dasar
memanfaatkan media digital dengan bijak” yang berisi berbagai macam kesepakatan
dan peraturan yang harus dipenuhi anak ketika menggunakan media digital. Misalnya:
tidak memposting informasi pribadi [alamat rumah, nama lengkap, nomor HP] di
internet, tidak memajang foto yang bersifat privat, membatasi waktu menonton TV
atau menggunakan internet selama 1 jam per hari, tidak menemui orang asing yang
dikenal lewat media sosial, dan selalu bercerita kepada orang tua tentang
aktivitas di dunia maya.
Karena media digital menawarkan
segala sesuatu yang dikemas dengan menarik, maka orang tua harus mencari cara
bagaimana menghadirkan hal yang lebih menarik dari media digital agar anak
tidak kecanduan media digital. Mengenalkan anak pada berbagai macam kegiatan
akan membuat anak lebih aktif dan kreatif, misalnya membaca buku bersama,
membuat barang kerajinan, membuat percobaan sains sederhana sesuai usia anak,
berolahraga, beraktivitas di luar ruangan, berjalan-jalan ke museum, hingga berpetualang
ke taman kota, pantai, atau gunung. Orang tua juga harus selalu mendampingi dan mengawasi kegiatan anak ketika menggunakan media digital.
Era digital telah menggelar
karpet merahnya, menunggu orang-orang yang berani berubah untuk memperoleh
manfaat lebih banyak dan mencapai kesuksesan dengan lebih mudah. Jika sebagai
orang tua kita telah mempersiapkan diri dengan matang, maka saatnya menguatkan
diri untuk mengambil kendali penuh atas pengasuhan anak-anak kita. Jangan sampai
kita lalai dan menyerahkan begitu saja semua tanggung jawab pengasuhan anak kita
kepada pengasuh atau guru di sekolah, karena kelak kita orang tuanyalah yang
akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pengasuhan anak kita. Jika semua
orang tua peduli, saling mendukung dengan pihak sekolah dan lingkungan sekitar,
maka tak berlebihan rasanya jika kita berharap anak-anak kita akan tumbuh pada
era digital yang ramah anak di Indonesia.
[1] Manusia yang telah mengenal media digital sejak mereka lahir